Ada Regulasi ‘Sesat’ dalam Revisi PP Pertambangan?
Utama

Ada Regulasi ‘Sesat’ dalam Revisi PP Pertambangan?

Sejumlah pasal dalam rancangan revisi PP Pertambangan dianggap bertentangan dengan UU Minerba. Perubahan aturan ini demi lindungi kepentingan pelaku usaha?

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Proses revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) sudah memasuki tahap akhir pembahasan. Perubahan keenam dari aturan tersebut dilakukan agar memberi jalan bagi sejumlah perusahaan tambang raksasa yang hampir habis masa berlaku kontraknya untuk kembali lagi mengelola lahan tambang tersebut.

 

Sayangnya, dalam draf rancangan aturan tersebut terdapat pasal-pasal yang dianggap sejumlah pakar pertambangan inskontitusional atau bertentangan dengan peraturan lebih tinggi seperti Undang Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Sehingga, rancangan RPP tersebut didesak agar dibatalkan pengesahannya.

 

Dosen Hukum Pertambangan Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, menjelaskan seharusnya muatan hukum dalam PP 23/2010 tersebut tidak boleh bertentangan dengan UU Minerba. “Terdapat kesesatan peraturan dalam perubahan PP ini. Keberpihakan PP ini sebenarnya ingin kepada korporasi atau rakyat?,” kata Redi di Jakarta, Rabu (12/12).

 

Redi menjelaskan salah satu pelanggaran hukum dalam RPP tersebut yaitu mengenai mekanisme perpanjangan izin produksi tambang. Sebab, revisi aturan baru tersebut memperbolehkan perusahaan tambang memperpanjang kontrak dari Kontrak Karya dan  Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa proses lelang. Padahal, UU Minerba mengamanatkan perusahaan tambang tidak mempunyai hak perpanjangan secara otomatis saat kontrak berakhir.

 

Redi menjelaskan mekanisme perpanjangan seharusnya wilayah tambang tersebut diambil alih pemerintah terlebih dahulu kemudian ditawarkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Apabila menyanggupi mengelola wilayah tambang tersebut, maka izin usahanya diserahkan kepada BUMN. Namun, apabila BUMN tersebut tidak menyanggupi mengelola lahan tambang tersebut maka ditawarkan kepada perusahaan tambang swasta melalui mekanisme lelang.

 

“Seharusnya wilayah tambang itu ditawarkan ke BUMN dulu. Kalau BUMN enggak mau baru ditawarkan ke swasta sehingga ada mekanisme lelang,” jelas Redi.

 

(Baca Juga: Holding BUMN Pertambangan Bukan Upaya Swastanisasi)

 

Persoalan lain, Redi juga menyoroti muatan baru dalam RPP tersebut mengenai luas wilayah produksi. Draf RPP tersebut mengizinkan perusahaan tambang batubara menggunakan luas wilayah produksi melebihi 15 ribu hektare. Hal ini dianggap bertentangan dengan Pasal 83 UU Minerba yang mencantumkan luas maksimal wilayah operasi IUPK batubara hanya 15 ribu hektare.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait