(Advokat) Asing Bukan Keniscayaan
Sejarah Kantor Advokat Indonesia:

(Advokat) Asing Bukan Keniscayaan

Kisah ketiga kantor hukum ini menunjukan, memikat klien asing dan membangun reputasi dapat dilakukan dengan/tanpa harus menggandeng law firm atau advokat asing. Makanya, saat ini masing-masing kantor hukum mengalami pergeseran peran dalam menyikapi kemitraan dengan firma hukum asing atau advokat asing.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit

 

"Kalau partnership, di situ test of partnership. Sebab, siapa yang tidak role of time... Manusia tidak puas, bisa juga demikian. Tapi, kalau sudah mature partnership-nya dan melihat ke depan, bisa saja nanti tahun berikutnya di nomor satu, kemudian turun ke bawah, bisa. Jadi, kalau di-avarage out, dipukul rata, ya lumayanlah, pendapatan mereka per tahunnya," ujarnya.

Hukumonline.com

Keluarga Besar HHP dan Baker & McKenzie. Foto: Dokumentasi HHP

 

Memikat klien asing dan transformasi kebijakan

Kala PMA masih berjaya, komposisi jumlah klien di sejumlah kantor hukum lokal "didominasi" oleh klien-klien asing. LGS, HHP, dan LSM pun sempat merasakan "kebanjiran" klien asing. Salah satu pembuka "jalan" bagi kantor hukum lokal untuk menjaring klien asing adalah dengan bermitra atau berafiliasi dengan law firm asing.

 

Timur melanjutkan, kemitraan dengan law firm asing memang merupakan salah satu marketing tools untuk memikat klien asing. Tentu, PMA membutuhkan advokat untuk memberikan nasihat hukum mengenai bagaimana cara membentuk perusahaan, berkontrak, mengaplikasikan kontrak ke dalam peraturan-peraturan di Indonesia, serta bagaimana bila suatu hari nanti terjadi sengketa.

 

"Untuk mempercepat kepercayaan terhadap lawyer Indonesia, selain lawyer Indonesia itu juga harus pintar, pandai berbahasa Inggris, mereka juga akan lebih nyaman apabila ada yang membantu mereka untuk menerangkan pemikirannya itu kepada mitra-mitranya mereka. (Itu latar belakang) Kenapa bermitra (dengan law firm asing)," ujarnya.

 

Namun, tak selamanya klien asing "merajai" pangsa pasar HHP. Timur mengaku, sekarang komposisi klien lokal dan asing di HHP sudah sekitar 50 : 50. Hal itu dipengaruhi oleh transformasi kebijakan pemerintah dari masa ke masa. Sebagai contoh, ketika pemerintah mengeluarkan seperangkat peraturan di bidang pasar modal dan lembaga-lembaga penunjangnya pada tahun 1989 s.d. 1990-an, HHP ikut berkontribusi membuat due diligence (uji tuntas).

 

"List due dilligence yang ada di dalam OJK sekarang namanya, dulu namanya Bapepam, originally tuh dari kita. Kita ikut men-develop itu sampai sekarang. Originally due dilligence yang kita buat untuk mengevaluasi legal dari company yang mau Initial Public Offering (IPO), istilah dulu namanya go public, (sekarang) penawaran saham perdana," tuturnya.

 

Seperti diketahui, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No.60 Tahun 1988 tentang Pasar Modal. Keppres itu merestrukturisasi Badan Pelaksana Pasar Modal menjadi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Kemudian, melalui Keppres No.53 Tahun 1990 tentang Pasar Modal, Bapepam bertransformasi lagi menjadi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) sampai akhirnya kini menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

 

Pangsa pasar HHP pun berkembang ke sektor pertambangan, perkebunan, intellectual property (dalam hal ini merek), perbankan, dan sektor-sektor lain. Kendati demikian, Timur menegaskan, pengaruh HHP di pasar modal sangat kental, bahkan hingga saat ini. HHP banyak mewakili perusahaan-perusahaan yang terdaftar di pasar modal.

 

"Tapi, HHP kemudian yang mengambil kebijaksanaan untuk menjadi all round legal service provider, yaitu kita melihat bukan hanya satu sektor, tapi juga beberapa sektor, full service namanya," imbuhnya.

 

Soal kemitraan dengan law firm asing, Kiki Ganie juga punya pandangan serupa. Ia membenarkan dahulu kemitraan LHGS dengan law firm asing lebih pada marketing network untuk menjaring klien asing. Kala itu, pengusaha-pengusaha lokal masih belum begitu berarti. Kalaupun ada pengusaha lokal bermitra dengan asing, biasanya mereka hanya pemegang saham minoritas atau mendapat modal dari asing. Wajar jika pengambil kebijakan dalam usaha tersebut adalah asing.

 

"Dan asing biasanya menggandeng lawyer asing. Kalau kita baru nyari di Indonesia, sudah keburu diambil sama (law firm) asing, terjaring di luar kan. (Dulu) Kita lihat network yang paling besar siapa. Baker & McKenzie," akunya.

 

Namun, pada pertengahan 1980-an, sambung Kiki Ganie, kantor hukumnya memutuskan untuk mengubah pangsa pasar menjadi klien domestik. Sebab, lama-kelamaan, pangsa pasar nasional justru lebih besar ketimbang asing. Proyek-proyek juga lebih banyak dikerjakan oleh pengusaha lokal, sedangkan proyek yang dikerjakan pengusaha asing bisa dihitung dengan jari.

 

Mengikuti arah kebijakan pemerintah, pangsa pasar LGS ikut berkembang ke sektor pertambangan. Kiki Ganie melanjutkan, hampir semua perusahaan tambang batubara diwakili oleh LGS. Bedanya dengan kantor hukum besar lain yang kebanyakan berkiprah ke Amerika Serikat dan Eropa, LGS lebih memilih berkiprah ke Asia, terutama Jepang. "Sejak itu, klien Jepang mungkin klien asing kita yang terbanyak," akunya.

 

Pada akhir 1990-an, Indonesia mengalami krisis moneter. Banyak bank "gulung tikar", banyak pula yang mendapatkan kucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan "berakhir" di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kondisi ini berpengaruh pada perkembangan pangsa pasar dan spesialisasi kantor hukum. Banyak dari mereka mulai merambah sektor perbankan dan kepailitan, khususnya restrukturisasi utang.

 

"Jadi, sebetulnya (kantor hukum) ikut situasi yang ada. Memang benar bahwa situasi jelek secara ekonomi, mungkin untuk rakyat jelek, untuk ekonomi jelek, tetapi untuk lawyer bagus gitu kan. Saya kira banyak law firm tumbuh dan makmur waktu BPPN itu," kata Kiki Ganie.

 

"Berkah" kemenangan TIME vs Soeharto

Todung mengatakan, pasca krisis ekonomi tahun 1998, banyak pekerjaan LSM yang mendapat sorotan. LSM menjadi konsultan hukum dari BPPN untuk menangani semua asset disposal (penghapusan aset) dari obligor-obligor BLBI yang bermasalah.

 

LSM sendiri memulai kiprahnya dengan menawarkan layanan hukum untuk corporate work kepada perusahaan-perusahaan lokal. Ketika itu, LSM belum dikenal dan masih menggunakan sistem retainer. Kemudian, LSM mulai membagi jasa layanan hukum pada tiga bidang, yaitu corporate commercial dispute, resolution, dan intellectual property yang sampai saat ini masih dilakoni LSM.

 

"Pekerjaan kita kecil-kecil pada waktu itu. Relatif, rata-rata semua klien Indonesia. Kita hampir tidak punya klien asing. Kita mulai mendapatkan pekerjaan-pekerjaan klien asing sebetulnya sejak tahun 1991-1992. Sebelumnya, hampir semua klien Indonesia, kecuali Citibank dan satu bank Jepang. Kita, Citibank cukup lama pada waktu itu, memberikan pekerjaan-pekerjaan hukum korporasi," ujarnya.

 

Seiring waktu berjalan, LSM lebih banyak menangani klien asing. Bahkan, pernah suatu waktu, klien LSM 99 persen asing dan hampir tidak ada klien Indonesia. "Sekarang sih mungkin klien asing kita sekitar 80 persen, sisanya Indonesia," imbuh Todung.

 

Reputasi LSM betul-betul melejit di kancah dunia internasional ketika menjadi kuasa hukum majalah asal Amerika Serikat, TIME melawan mantan Presiden Soeharto. Kala itu, Soeharto menggugat TIME karena dianggap telah membuat pemberitaan yang mencemarkan nama baiknya. Namun, pengadilan tingkat pertama dan banding menolak gugatan Soeharto. Soeharto sempat menang di tingkat kasasi, tetapi di tingkat peninjauan kembali (PK), Mahkamah Agung kembali memenangkan TIME.

 

Kemenangan TIME membuat nama LSM menghiasi pemberitaan-pemberitaan internasional. Todung merasa, sejak itulah LSM dikenal sebagai kantor hukum yang berhasil memenangkan perkara melawan mantan Presiden Soeharto. LSM pun mulai menangani banyak klien asing besar, seperti Exxon, BP, Conoco Phillips, Chevron, Freeport, Newmont, dan Kaltim Prima Coal sampai ke arbitrase di London.

 

Todung membeberkan, dulu, hampir semua perusahaan-perusahaan pertambangan adalah klien LSM. Cuma, dalam perjalanannya, bisnis tambang mengalami pasang surut. Perusahaan-perusahaan tambang mulai memangkas pekerjaan-pekerjaan hukum mereka dan lebih memilih menggunakan in house counsel.

 

"Sekarang kita banyak menangani perusahaan-perusahaan konstruksi, terutama dari Jepang. Jadi, sekarang ini kita lebih banyak managing, handling klien-klien yang datang dari Jepang ke Indonesia," katanya.

Kantor HukumAdvokat AsingKeterangan
2014201520162017

HHP

Norman Shirsinger Bisset, Luke David Devine, Mark Cyril Innis, Susan Elisabeth Beaumont, Bruce John Leishman

Bruce John Leishman, Luke David Devine, Mark Cyril Innis, Susan Elisabeth Beaumont, Norman Shirsinger Bisset

Mark Cyril Innis, Luke David Devine, Susan Elisabeth Beaumont, Norman Shirsinger Bisset

 Gerrit Jan Kleute (izin baru)

Belum ada data siapa saja advokat asing yang mendapat perpanjangan izin pada tahun 2017

LGS

Filipp Levin

Filipp Levin

Filipp Levin

X

Tidak lagi bekerja di LGS per 1 Agustus 2016

LSM

X

X

X

X

Hanya pernah dua kali berafiliasi dengan law firm asing di tahun 1992 dan 2001

Tags:

Berita Terkait