Advokat Ini Beberkan Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak
Terbaru

Advokat Ini Beberkan Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak

Setiap proses dalam sistem peradilan pidana, para pihak yang terlibat harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Associate HMWA Law Firm Tunggal S (atas) bersama Psikolog Anak dan Remaja Vera Itabiliana (kanan bawah) dalam diskusi bertema 'Kenakalan Remaja dalam Perspektif Psikologi dan Hukum', Jumat (3/3/2023).
Associate HMWA Law Firm Tunggal S (atas) bersama Psikolog Anak dan Remaja Vera Itabiliana (kanan bawah) dalam diskusi bertema 'Kenakalan Remaja dalam Perspektif Psikologi dan Hukum', Jumat (3/3/2023).

Kasus penganiayaan yang dilakukan anak pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menuai perhatian dan keprihatinan publik. Perkara tersebut masih ditangani aparat penegak hukum. Tapi perlu diingat, ada perlakuan khusus yang perlu diperhatikan dalam menangani perkara pidana yang melibatkan anak.

Associate HMWA Law Firm, Tunggal S, mengatakan penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum mengacu UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diperbarui terakhir melalui UU No.35 Tahun 2014 dan UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Kedua beleid itu mengatur usia yang masuk kategori anak yakni 12-18 tahun atau belum berusia 18 tahun. Anak yang berhadapan dengan hukum dibagi menjadi 3 kategori. Pertama, anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang diduga melakukan tindak pidana. Kedua, anak yang menjadi korban tindak pidana disebut anak korban. Anak korban mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

Baca Juga:

Ketiga, anak yang menjadi saksi tindak pidana, disebut anak saksi yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Beberapa tindak pidana yang bisa dikategorikan kenakalan remaja, seperrti tawuran, vandalisme, pemerasan atau pemalakan, pencurian, dan perundungan.

Tunggal menegaskan proses dan pertanggungjawaban pidana terhadap anak berbeda dengan orang dewasa. Para pihak yang terlibat dalam setiap proses sistem peradilan pidana anak harus mengedepankan prinsip restorative justice atau keadilan restoratif. “Mengembalikan agar keadaan menjadi seperti semula atau baik lagi,” kata Tunggal S dalam diskusi bertema “Kenakalan Remaja dalam Perspektif Psikologi dan Hukum”, Jum’at (3/3/2023).

Salah satu bentuk keadilan restoratif dalam perkara pidana anak yakni proses diversi yang merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Tunggal menjelaskan mekanismenya dilakukan melalui proses musyawarah dimana anak yang berhadapan dengan hukum didampingi orang tua atau walinya, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, dan dapat melibatkan masyarakat.

Jika dalam musyawarah itu tercapai kesepakatan untuk diversi, kemudian dilakukan pendaftaran ke pengadilan untuk dibuat penetapan. Sebaliknya, ketika tidak tercapai kesepakatan atau terjadi kesepakatan tapi tidak dilaksanakan, maka proses peradilan berlanjut ke tahap selanjutnya.

Bagi anak berusia di bawah 12 tahun yang berhadapan dengan hukum, Tunggal mengatakan penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional akan mengambil keputusan apakah anak dikembalikan kepada orang tua atau mengikuti program pendidikan dan pembinaan. Pengambilan keputusan itu juga mencermati ringan dan berat tindak pidana yang dilakukan anak. Keputusan itu didaftarkan ke pengadilan untuk dibuat penetapan.

Tunggal mengatakan hal paling penting yang diperhatikan adalah setiap proses peradilan pidana, semua pihak yang terlibat harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak. Hal itu karena anak memiliki masa depan yang panjang, sehingga persoalan ini jangan sampai menghambat tumbuh kembang anak. Oleh karena itu setiap pertimbangan atau keputusan yang diambil dalam SPPA harus mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.

“Memang itu tujuan SPPA yakni melindungi anak. Kepentingan terbaik anak adalah nomor satu,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Psikolog Anak dan Remaja Vera Itabiliana mengatakan proses yang dilakukan untuk anak yang berhadapan dengan hukum antara lain melakukan asesmen terhadap kemampuan anak secara keseluruhan. Hasil asesmen itu menunjukkan secara umum apakah anak yang bersangkutan paham atas tindakan yang telah dilakukan, apakah berperilaku sesuai dengan usianya dan lainnya.

Jika hasil asesmen itu menunjukkan bahwa anak memiliki kemampuan dan tumbuh kembang yang baik sesuai dengan usianya, Vera mengatakan selanjutnya mencari faktor lain yang mendorong anak melakukan tindakan kenakalan atau tindak pidana. “Misalnya apakah ada hambatan intelektual lalu didorong temannya melakukan kejahatan, untuk hal ini ada pertimbangan khusus karena anak itu dimanipulasi untuk melakukan itu.”

Tags:

Berita Terkait