Djamhur, salah seorang anggota FOR-KAI, menilai kebijakan seperti yang dikeluarkan Pengadilan Agama Depok dapat menghambat advokat lain di luar PERADI untuk beracara di pengadilan. Menurut dia, pengadilan seharusnya tidak boleh melarang advokat dari organisasi apapun untuk berpraktik.
“Dimanapun di dunia, tidak ada tanya-tanya sumpah. (sumpah) itu domain Tuhan, bukan domain hakim,” tegas Djamhur.
Djamhur mengemukakan sejumlah dalil kenapa pihaknya memprotes kebijakan yang mewajibkan advokat menunjukkan bukti sumpah ketika ingin beracara di pengadilan. Pertama, dia menyebut Putusan MK 101/PUU-VII/2009. Putusan MK itu, kata Djamhur, telah mencabut Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 terkait sumpah advokat.
Berdasarkan penelusuran hukumonline, Putusan MK atas permohonan yang diajukan beberapa advokat KAI itu -termasuk Djamhur-, berbunyi:
Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”;
Menyatakan apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum;
Kedua, Djamhur menyebut surat Ketua MA Nomor 113/2011. Surat yang diteken Harifin Tumpa itu, papar Djamhur, menyatakan hakim tidak boleh menanyakan soal sumpah kepada advokat yang beracara di pengadilan.
Lalu, Djamhur juga menyebut Putusan MK No. 067/PUU-II/2004 yang telah mencabut kewenangan Mahkamah Agung (MA) dalam mengawasi advokat. “Jadi mau benar atau tidaknya advokat itu urusan organisasi bukan urusan pengadilan. Kami bukan pegawai MA, itu sudah salah kaprah,” ujar Djamhur.
Patuhi Putusan MK
Ditemui dalam acara seminar Ikatan Hakim Indonesia di Jakarta beberapa waktu lalu, Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial Suwardi menyatakan setuju atas kebijakan beberapa pengadilan yang mewajibkan advokat untuk menunjukkan berita acara sumpah ketika akan beracara.
“Undang-undangnya kan seperti itu. Pengacara harus disumpah oleh pengadilan tinggi. Surat edaran itu berarti merespon sesuai dengan undang-undang,” ujar Suwardi.
Suwardi menegaskan bahwa aturan agar advokat wajib membawa berita acara sumpah itu tak berkaitan dengan konflik organisasi yang terjadi di kalangan advokat. “Nggak (ada kaitan dengan konflik, red). Memang undang-undangnya seperti itu,” tegasnya kepada hukumonline.
Pernyataan Wakil Ketua MA direspon oleh Djamhur. Dia menilai Suwardi tidak memahami persoalan hukum sebenarnya. MA, kata Djamhur, seharusnya mematuhi Putusan MK 101/PUU-VII/2009. Bagi Djamhur, Putusan MK adalah keputusan tertinggi yang mutlak harus dipatuhi oleh siapapun, termasuk MA.
“Putusan MK itu kan putusan tertinggi, (Presiden) SBY saja menghormati putusan MK terkait pemberhentian Jaksa Agung, kenapa MA tidak?” ujar Djamhur membandingkan.
Kebijakan seperti yang diberlakukan di Pengadilan Agama Depok sebenarnya tidak hanya merepotkan advokat KAI, advokat PERADI pun menyatakan keberatan. Mohammad Aqil Ali, misalnya, menilai kebijakan menunjukkan bukti sumpah hanya merepotkan advokat.
“Aturan ini bikin kami repot, dan menyita waktu,” ujar salah seorang pengurus DPC PERADI Jakarta Selatan ini kepada hukumonline, beberapa waktu lalu. Aqil mengaku mengalami kesulitan saat mengurus sebuah perkara di Pengadilan Agama Depok.