Ahli Nyatakan Perusahaan Penerbangan Harus Bertanggung Jawab
Kasus Singapore Airlines

Ahli Nyatakan Perusahaan Penerbangan Harus Bertanggung Jawab

Jika terbukti melakukan kesalahan, tanggung jawab perusahaan penerbangan menjadi tak terbatas.

IHW
Bacaan 2 Menit

 

Meski begitu, tanggung jawab maskapai penerbangan dalam konsep ini terbatas. Hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam Pasal 22 Konvensi Warsawa yang mengatur mengenai jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan kepada penumpang sebesar 125 ribu franck Perancis atau setara AS$ 20 ribu.

 

Namun, sambung Martono, ceritanya akan berbeda jika penumpang bisa membuktikan bahwa perusahaan penerbangan melakukan kesalahan dengan sengaja (wishful misconduct) maka  tanggung jawab maskapai menjadi tidak terbatas alias unlimited liability.

 

Contoh dari wishful misconduct adalah ketika perusahaan tidak membawa jaket keselamatan atau menyediakan oksigen di dalam pesawatnya. Padahal itu adalah salah satu komponen keselamatan yang harus disediakan perusahaan penerbangan karena keselamatan atau safety adalah prinsip utama, Martono mencontohkan.

 

Kekuasaan yang Besar

Martono menjelaskan, dalam dunia penerbangan, perusahaan memiliki kekuasaan yang sangat besar. Saking besarnya hingga Martono mengibaratkan kekuasaan perusahaan penerbangan hampir sama dengan kekuasaan Tuhan (master after the god) karena di tangan perusahaan nyawa penumpang dipertaruhkan. Sebagai contoh, kalau cuaca buruk, demi keselamatan penumpang, perusahaan penerbang harus memerintahkan pilotnya untuk tidak terbang. Jika tetap nekat terbang, menurut saya itu adalah salah satu bentuk wishful misconduct Martono berujar.

 

Atas penjelasan Martono itu, kuasa hukum SQ, Mirza A. Karim, bertanya kepada Martono mengenai siapakah yang berhak memutuskan bahwa perusahaan penerbangan sudah melakukan wishful misconduct.

 

Yang berhak memutuskan perusahaan sudah melakukan wishful misconduct maupun mengenai sejauh mana ganti rugi yang harus dibayarkan kepada penumpang adalah majelis hakim yang menangani perkara dengan memperhatikan bukti-bukti, jawab Martono sambil menceritakan bagaimana pengadilan di luar negeri seperti Jepang dan Amerika memutuskan untuk membayar ganti rugi melebihi ketentuan Pasal 22 Konvensi atas dasar unlimited liability.

 

Seputar Daluarsa

Sementara, Wahyu Hargono, kuasa hukum SQ yang lain menanyakan mengenai daluarsa alias batas waktu pengajuan gugatan atas sengketa antara perusahaan dan penumpang. Menyitir ketentuan Pasal 29 Ayat (1) Konvensi Warsawa, Wahyu berpendapat bahwa gugatan hanya bisa diajukan dalam waktu dua tahun sejak kedatangan pesawat, mendaratnya pesawat atau saat penerbangan dihentikan.

Tags: