Akademisi Ingatkan 3 Persoalan Serius Sektor Lingkungan Hidup
Terbaru

Akademisi Ingatkan 3 Persoalan Serius Sektor Lingkungan Hidup

Meliputi tata kelola pemerintahan, penyimpangan norma, dan pembangkangan konstitusi.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kiri ke kanan: Dewi Puspa (Walhi), Brigitta Isworo (Jurnalis Senior Kompas), Ika Ningtyas (Sekjen AJI Indonesia), Feri Amsari (Peneliti PUSaKO). Foto: ADY
Kiri ke kanan: Dewi Puspa (Walhi), Brigitta Isworo (Jurnalis Senior Kompas), Ika Ningtyas (Sekjen AJI Indonesia), Feri Amsari (Peneliti PUSaKO). Foto: ADY

Indonesia memiliki beragam sumber daya alam (SDA) yang bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat sesuai amanat Konstitusi. Tapi, pengelolaan SDA selama ini dinilai masih menghadapi banyak persoalan yang belum berwawasan lingkungan.  

Peneliti PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mencatat sedikitnya ada 3 persoalan serius di sektor lingkungan hidup. Pertama penyimpangan tata kelola pemerintahan, misalnya dalam menyusun strategi pembangunan.

Feri mencontohkan Kementerian Pertahanan ditunjuk untuk melaksanakan program food estate. Padahal, secara konstitusional tugas Kementerian Pertahanan fokus pada sektor pertahanan dan keamanan, bukan mengurusi soal pangan. Menurutnya, hal ini terlihat hanya untuk memberikan proyek tertentu.

Penyimpangan tata kelola pemerintahan juga terjadi sampai tingkat pemerintahan di daerah. Dia menyebut banyak proses administrasi negara yang tidak dijalankan dengan benar. Dalam berbagai kasus lingkungan hidup dapat ditemui bermacam bentuk penyimpangan administrasi yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah. Misalnya, perusahaan pertambangan sudah beroperasi kendati belum mengantongi izin lengkap.

Kedua, terjadi penyimpangan norma. Feri menjelaskan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan regulasi yang dibentuk lembaga negara, tapi substansinya bertentangan dengan pasal 28H ayat (1) UUD RI Tahun 1945. Ketentuan itu memandatkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

“Tapi tidak konsep pembangunan (dalam UU Cipta Kerja, red) dan tidak bersandar pada pasal itu,” kata Feri dalam diskusi yang digelar secara daring dan luring bertema Membangkang Konstitusi: Mewariskan Krisis Antar Generasi, Senin (31/1/2022). (Baca Juga: Walhi: 4 Kebijakan Ini Berpotensi Mengancam Lingkungan Hidup)

Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas ini melihat Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945 kerap diabaikan dalam menyusun kebijakan yang memberi ruang bisnis bagi pengusaha. Misalnya, UU No.11 Tahun 2020 memberi ruang pemanfaatan hutan lindung untuk pembangunan dan penambangan. Padahal, fungsi hutan lindung sebagaimana praktik di negara lainnya adalah melindungi flora dan fauna yang ada di hutan tersebut. Mengacu hal itu, Feri menilai pembentukan norma UU Cipta Kerja itu ditujukan untuk membenarkan penyimpangan.

Penyimpangan norma itu menurut Feri menjadi tanggung jawab pemerintah dan DPR karena keduanya berwenang membentuk UU. Pemerintah punya kewenangan yang lebih banyak untuk membatalkan UU yang bermasalah. Tapi sayangnya sampai saat ini pemerintah mendukung hal tersebut dan tidak ada aturan yang dibatalkan.

Ketiga, pembangkangan konstitusi. Feri menyebut dalam menindaklanjuti Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, pemerintah hanya fokus pada poin keempat amar putusan. Amar tersebut pada intinya menyatakan UU No.11 Tahun 2020 masih berlaku sampai dilakukan perbaikan sesuai tenggang waktu yang ditentukan dalam putusan yakni 2 tahun.

Pemerintah mengabaikan poin ketiga amar putusan yang menegaskan pembentukan UU No.11 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan.” Feri berpendapat amar putusan ketiga ini menekankan UU No.11 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “UU No.11 Tahun 2020 masih berlaku, tapi tidak punya daya ikat,” tegasnya.

Alih-alih melaksanakan putusan MK itu, tapi Feri melihat pemerintah malah melakukan tindakan yang sebaliknya. Misalnya, terbit Instruksi Menteri Dalam Negeri No.68 Tahun 2021 tentang Tindak Lanjut Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 Atas Pengujian Formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Meskipun judul aturan itu tindak lanjut putusan MK, tapi isinya berbeda.

Sebab, melalui surat itu Mendagri menginstruksikan seluruh Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk menjadikan UU No.11 Tahun 2020 sebagai pedoman dan melaksanakannya. “Kalau ada pandangan yang menuding terjadi pembangkangan konstitusi, itu memang nyata terjadi,” imbuhnya.

Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Suhadi, mengatakan krisis ekologis di Indonesia telah terjadi secara sistematis lintas wilayah dan waktu. Hal itu dapat dilihat dari berbagai bencana yang meluas dan meningkat intensitasnya. Misalnya banjir yang melanda beberapa wilayah antara lain Kalimantan.

Perubahan iklim juga ikut menyumbang terjadinya berbagai bencana. Perubahan iklim itu terkait juga persoalan ketimpangan akses terhadap SDA. “Masyarakat sipil dan korban berharap ada perbaikan tata kelola SDA di Indonesia dan pemulihan terhadap fungsi lingkungan hidup,” harapnya.

Kebijakan yang diterbitkan pemerintah selama ini dinilai menjauh dari pemulihan lingkungan hidup. Zenzi melihat sejumlah regulasi yang diterbitkan tidak menjawab kebutuhan rakyat, misalnya revisi UU KPK, UU Minerba, terbitnya UU Cipta Kerja, dan UU Ibu Kota Negara. MK yang mengawal konstitusi melalui putusannya juga tidak dipatuhi oleh penyelenggara negara karena kebijakan yang terbit malah sebaliknya.

“Pembangkangan konstitusi dan putusan MK dilakukan oleh penyelenggara negara,” katanya.

Tags:

Berita Terkait