Walhi: 4 Kebijakan Ini Berpotensi Mengancam Lingkungan Hidup
Utama

Walhi: 4 Kebijakan Ini Berpotensi Mengancam Lingkungan Hidup

Meliputi krisis kawasan hutan; ekspansi tambang; perampasan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil; dan calon ibu kota baru.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kiri ke kanan: Dewi Puspa (Walhi), Brigitta Isworo (Jurnalis Senior Kompas), Ika Ningtyas (Sekjen AJI Indonesia), Feri Amsari (Peneliti PUSaKO). Foto: ADY
Kiri ke kanan: Dewi Puspa (Walhi), Brigitta Isworo (Jurnalis Senior Kompas), Ika Ningtyas (Sekjen AJI Indonesia), Feri Amsari (Peneliti PUSaKO). Foto: ADY

Konstitusi memandatkan perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Tapi praktiknya tidak mudah untuk mewujudkan amanat tersebut.

Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan Walhi, Puspa Dewi, mencatat sedikitnya ada 4 kebijakan yang berpotensi mengancam ekologi. Pertama, sebanyak 33,4 juta hektar hutan di Indonesia dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan yang dikuasai 1.502 perusahaan. Dari luas lahan tersebut 4,5 juta hektar ditambang. Periode 1984-2021 seluas 7,3 juta hektar hutan dilepaskan, dimana 6,9 juta hektar dari kawasan yang dilepaskan itu untuk perizinan sektor perkebunan.

Dewi melihat pencabutan izin kehutanan sebagaimana tertuang dalam SK No.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan belum menyelesaikan masalah. Sebab, izin konsesi yang dicabut hanya 234 izin dengan total luas 3,9 juta hektar. “Izin kehutanan yang dicabut tidak begitu signifikan dengan luas dan masih banyaknya entitas perusahaan yang ada,” kata Puspa Dewi dalam diskusi yang digelar secara daring dan luring bertema “Membangkang Konstitusi: Mewariskan Krisis Antar Generasi”, Senin (31/1/2022).

(Baca Juga: Walhi: Pemerintah Harus Menyusun Ulang Kebijakan Pemulihan Lingkungan)

Krisis di kawasan hutan itu, kata Dewi, diperparah dengan kebijakan monokultur skala luas melalui Food Estate. Melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Food Estate, sejumlah wilayah yang menjadi tempat food estate meliputi Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Papua.

Kedua, ekspansi pertambangan. Dewi mencatat luas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) mencapai 314 ribu hektar di hutan rawa primer. Selain itu, sebanyak 69 ribu hektar di hutan rawa sekunder; 14 ribu hektar di rawa; 48 ribu di kawasan mangrove; dan 37 ribu kawasan savana/padang rumput. Dia mencatat 36 persen kawasan tambang berada pada tutupan lahan yang bersinggungan dengan wilayah kelola rakyat. Pada kawasan pertanian dan perkebunan luasan tambang tercatat mencapai 3,8 juta hektar.

Saat ini, izin pertambangan telah menguasai 4,59 juta hektar tutupan lahan hutan di Indonesia. Izin tambang itu untuk 6 jenis komoditas (hasil tambang) yakni batubara 1,9 juta hektar, emas 1,3 juta hektar, nikel 693 ribu hektar, bijih dan pasir 359 ribu hektar, bauksit 124 ribu hektar, dan tembaga 88 ribu hektar.

Ketiga, perampasan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil. Dewi melihat dalam ruang lingkup ini ada beberapa persoalan antara lain reklamasi, pertambangan di pesisir laut dan pulau-pulau kecil, serta proyek pariwisata. Ada sekitar 2,9 juta hektar wilayah pesisir yang ditambang, dan 687 hektar pertambangan di wilayah laut. Kemudian seluas 342 ribu hektar wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditargetkan menjadi proyek pariwisata.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait