Akademisi Pidana Bicara tentang Penangkapan Terkait PSBB
Utama

Akademisi Pidana Bicara tentang Penangkapan Terkait PSBB

Jangan sampai penangkapan orang yang berkerumun menjadi kontraproduktif dengan upaya pencegahan wabah.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Pasal 218 KUHP menyebutkan: “Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp9.000”.

(Baca juga: Simak Yuk! Dosen-Dosen Hukum Tata Negara Bicara tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Senada dengan pandangan sejumlah akademisi hukum tata negara, Dedy berpendapat ukuran pelanggaran PSBB itu harus jelas agar tidak gampang disalahgunakan aparat penegak hukum. Misalnya, bagi mereka yang harus keluar rumah untuk mencari nafkah, para pemilik toko yang harus membuka tokonya agar bisa melanjutkan hidup, dan warga masyarakat lainnya yang memang mendapatkan penghasilan harian. Mereka sangat mungkin berada dalam kondisi ‘kerumunan’ karena pekerjaan. Warga yang seperti ini perlu mendapat perlindungan hukum.

“Kepastian hukum di masa pandemi ini sekali lagi sangat perlu dikedepankan shingga bagaimana penegakan hukum dan pencegahan bisa berjalan maksimal setidaknya meskipun bukan karantina wilayah tetapi menurut saya dalam konteks PSBB aturannya harus komprehensif sehingga implementasi pencegahan maksimal,” ujarnya.

Kritik atas penangkapan warga dalam rangka PSBB datang dari Asfinawati. Ketua Badan Pekerja Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini mengatakan penangkapan yang dilakukan aparat kepolisian jika berkaitan dengan PSBB tidak sah karena tidak punya dasar hukum yang kuat. Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan yang menjadi dasar kepolisian tidak cukup kuat menjadikan mereka sebagai tersangka.

Pasal 93 harus ada akibatnya baru bisa ditahan. Jadi, tidak semata perbuatan formil. Tidak perlu (penangkapan) harusnya yang dilakukan penyadaran. Lagipula saat itu kan belum ada PSBB,” ujarnya.

Selain itu tidak ada mekanisme yang jelas mengenai PSBB, misal bagaimana jika ada keramaian bagi mereka yang sedang mengantri makanan? Menurut Asfin PSBB harus ada mekanismenya kemudian diberlakukan dan setelah itu disosialisasikan. “Nah itu kalau gym tapi physiscal distancing gimana? kebingungan ini kan karena tidak ada ukuran,” tuturnya.

Meskipun DKI Jakarta telah ditetapkan PSBB lewat Surat Keputusan Menteri Kesehatan per hari ini (7/4), namun tidak serta merta aparat kepolisian bisa melakukan penangkapan dan proses hukum kepada mereka yang melanggar PSBB. “Harus ada akibat kedaruratan masyarakat, ini delik materil bukan formil,” pungkas Asfin.

Tags:

Berita Terkait