Akademisi STHI Jentera Sebut Dilema JR KUHP Baru ke MK
Utama

Akademisi STHI Jentera Sebut Dilema JR KUHP Baru ke MK

Narasi mempersilakan menempuh jalur hukum ke MK dinilai sebagai bentuk arogansi pembentuk UU karena merasa sudah mampu mengendalikan MK.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Narasumber dalam diskusi bertajuk 'Pro Kontra KUHP: Kemunduran Sistem Hukum dan Demokrasi di Indonesia', Selasa (13/12/2022). Foto: RFQ
Narasumber dalam diskusi bertajuk 'Pro Kontra KUHP: Kemunduran Sistem Hukum dan Demokrasi di Indonesia', Selasa (13/12/2022). Foto: RFQ

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih belum dapat diterima sebagian masyarakat akibat masih adanya pasal-pasal yang berpotensi membelenggu kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pemerintah dan DPR kerap mempersilakan masyarakat yang tidak sependapat dengan sejumlah pasal dalam KUHP baru agar mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Narasi mempersilakan menempuh jalur hukum ke MK dinilai sebagai bentuk arogansi pembentuk UU. 

“Narasi silakan membawa ke MK menunjukan arogansi luar biasa, karena politisi juga merasa sudah mampu mengendalikan MK,” ujar Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (13/12/2022) kemarin.

Baca Juga:

Bivitri memberi contoh preseden menghentikan Hakim Konstitusi Aswanto di tengah jalan lantaran putusannya tidak sesuai dengan harapan DPR. Selain itu, DPR mengendalikan MK secara legal yang ingin mengubah UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi untuk keempat kalinya. Padahal, DPR belum lama ini telah merevisi UU MK untuk ketiga kalinya menjadi UU No.7 Tahun 2020.

Menurut Bibip, begitu biasa disapa, dengan mengubah keempat kalinya UU 24/2023 agar dapat menuangkan aturan pencopotan di tengah jalan sepanjang DPR tidak puas dengan kinerja hakim konstitusi usulannya, khususnya terhadap putusan perkara yang diterbitkannya. “Ini gawat sekali dan ini merupakan serangan. Betapa buruknya serangan terhadap independensi kekuasaan kehakiman.”

Selain itu, DPR pun berpotensi dapat mengabaikan putusan MK. Seperti halnya putusan MK yang telah membatalkan pasal penyerangan harkat martabat terhadap presiden dan wakil presiden dalam KUHP peninggalan kolonial Belanda. Tapi, dalam KUHP baru, norma tersebut dihidupkan kembali.

Meskipun, pasal penyerangan harkat dan martabat presiden diubah menjadi delik aduan terbatas. Artinya, hanya terbatas presiden dan wakil presiden yang memiliki hak mengadukan ke aparat penegak hukum. Tapi, dalam praktiknya ia memperkirakan bakal terjadi perdebatan di publik. Menurutnya, budaya hukum pembentuk UU yang mengabaikan putusan lembaga peradilan perlu diluruskan. Sebab, budaya tersebut malah menggerogoti pilar-pilar negara hukum di Indonesia.

“Semestinya, pembentuk UU patuh dan taat terhadap setiap putusan lembaga peradilan seperti MK. Apalagi, putusan MK bersifat final dan mengikat bagi siapapun.”

Soal menguji materil pasal-pasal dalam KUHP baru ke MK menjadi sesuatu hal berat dan dilema. Sebab, RKUHP baru saja disetujui menjadi UU yang belum bernomor karena presiden belum mengesahkannya. Belum lagi, KUHP baru masih terdapat masa transisi selama 3 tahun ke depan. Artinya, kalaupun diajukan materil ke MK, bakal bermasalah dengan legal standing pemohon karena KUHP baru belum berlaku secara efektif. “Jadi konstruksi permohonannya menjadi sulit didalilkan,” ujarnya.

Meski begitu, Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) itu berpendapat masyarakat memiliki kepercayaan tinggi untuk mengajukan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam KUHP baru. Khususnya terkait pasal-pasal yang membelenggu kebebasan berpendapat dan berekpresi yang dianggap inkonstitusional. Menurutnya, di negara demokrasi semestinya pasal-pasal yang membelenggu kebebasan berpendapat dan berekspresi dihapus dari KUHP yang berlaku nasional itu.

Terpisah, Anggota Badan Legislasi (Baleg) Guspardi Gaus melihat pro dan kontra publik terhadap sebuah produk legislasi menjadi hal biasa. Menurutnya, UU sebagai produk legislasi tak dapat memuaskan semua kalangan. Untuk itu, terdapat pintu menguji produk legislasi pembentuk UU ke MK melalui judicial review. “Itu adalah hak setiap masyarakat, jika memang ingin melakukan itu (judicial riview) soal KUHP,” ujarnya.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menilai pembentukan KUHP baru merupakan ikhtiar pemerintah dan DPR beserta para ahli hukum pidana agar memiliki hukum pidana yang khas Indonesia. Dia mendorong masyarakat yang ingin mengajukan uji materi ke MK dengan memberikan argumentasi yang kuat agar menjadi pertimbangan dalam putusan nantinya. “Nantinya, diterima atau tidaknya uji materil yang diajukan masyarakat menjadi ranah MK.”

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly turut mengamini bahwa ‘tak ada gading yang tak retak’ dalam hal produk hukum yang hanya sebatas ciptaan manusia. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang sangat multikultur dan multietnis. Tentunya memerlukan akomodasi yang luas, namun ia mengaku tidak mungkin mengakomodasi menyeluruh aspirasi masyarakat hingga 100 persen.

“Tetapi perlu saya catat pemerintah tidak berkeinginan membungkam kritik. Penyerangan harkat dan martabat tidak berarti kritik, (keduanya adalah) sesuatu yang berbeda. Mohon dibaca. Ketentuan lain yang menjadi perhatian tentang lembaga negara, sudah dibuat catatannya, dibuat penjelasannya. Kritik Dewan Pers, sudah dibuat penjelasannya untuk tidak digunakan secara sewenang-wenang oleh penegak hukum. Semua masukan masyarakat kami terima dengan baik,” kata Yasonna usai persetujuan RKUHP menjadi UU beberapa waktu lalu.

Yasonna kembali menegaskan, pihak-pihak yang masih tidak berkenan dengan sejumlah pasal dalam KUHP yang disahkan, dapat menempuh mekanisme judicial review. Dalam kurun waktu 3 tahun terakhi, pemerintah akan melakukan sosialisasi dan membuat training bagi penegak hukum dan stakeholders lainnya. Mulai dari kalangan Hakim, Jaksa, Polisi, Advokat, Pegiat HAM, Akademisi, dan sebagainya.

“Semua ini akan nanti ada waktu 3 tahun (masa transisi, red) agar UU ini berlaku efektif. Dalam masa 3 tahun ini akan kita adakan sosialisasi. Tim kami ini maupun bersama-sama tim DPR akan melakukan sosialisasi ke penegak hukum, masyarakat, kampus-kampus untuk menjelaskan konsep filosofi dari KUHP dan hal yang lain,” katanya.

Tags:

Berita Terkait