Untuk itu, perkawinan beda agama negara perlu mempertimbangkan agar kiranya pada masa yang akan datang jika akan dilakukan revisi terhadap UU Perkawinan dimaksud, memberikan atensi penyelesaian secara komprehensif baik secara jalan keluar atas keabsahan dari hukum agama/kepercayaannya maupun dalam hal mengakomodir akibat hukum pencatatannya.
Substansi perubahan dimaksud tentu menyesuaikan dinamika sosial dan hal-hal lain terkait yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan tentunya menyeimbangkan kebebasan beragama di satu sisi dan mengakomodir fenomena perkawinan beda agama dan tata cara pencatatannya secara bijak pada sisi yang lain. Sebab, sejatinya saat ini terjadi secara faktual akibat hukum perkawinan beda agama adalah sekedar pengakuan oleh negara secara administrasi saja.
“Saya berpendapat lebih tepat bagi Mahkamah mengembalikan kepada pembentuk UU yang memiliki kewenangan melakukan perubahan UU Perkawinan tersebut jika memang akan dilakukan perubahan. Sehingga permasalahan perkawinan beda agama dapat terselesaikan dari akar masalahnya (root cause), tidak hanya selesai dalam ranah pencatatan administrasi, tetapi juga diperoleh jalan tengah yang bijak dengan tetap mengedepankan pemenuhan hak-hak warga negara untuk kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing,” kata Suhartoyo.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menegaskan lembaga yang tepat mengatur ini adalah lembaga pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Presiden/Pemerintah. “Kedua lembaga tersebut memiliki perangkat dan sumber daya yang lebih banyak daripada lembaga peradilan, seperti MK terutama perangkat dan sumber daya dalam menyerap berbagai aspirasi masyarakat. Begitu juga kemampuan melakukan riset yang mendalam dengan melibatkan berbagai macam dispiln keilmuan untuk menyiapkan naskah akademiknya."