Alasan Otto Hasibuan Nyatakan Putusan MK No. 91/PUU-XX-2022 Kabur dan Non-Executable
Terbaru

Alasan Otto Hasibuan Nyatakan Putusan MK No. 91/PUU-XX-2022 Kabur dan Non-Executable

Putusan MK Nomor: 91/PUU-XX/2022 tidak dapat dilaksanakan (non executable), karena akan mengakibatkan kelumpuhan pada kepengurusan organisasi-organisasi advokat yang ada saat ini, dan menimbulkan kegaduhan yang tidak berkesudahan.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 4 Menit
Ketua Umum DPN Peradi, Otto Hasibuan. Foto: istimewa.
Ketua Umum DPN Peradi, Otto Hasibuan. Foto: istimewa.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi), Otto Hasibuan mengatakan, Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XX-2022 kabur (obscuur libel), tidak dapat dieksekusi (non-executable), tidak memiliki implikasi hukum terhadap organisasi advokat, serta mengekang independensi dan menafikan kebebasan berserikat advokat.

 

Menurutnya, putusan MK yang diharapkan dapat memberikan keadilan bagi seluruh pihak, kali ini justru menimbulkan polemik dan sangat mencerminkan ketidakadilan. “Secara nyata MK melalui putusannya tersebut telah menafikan independensi dan kebebasan berserikat bagi para advokat, karena masa jabatan kepemimpinan didalam organisasi advokat yang seharusnya ditentukan sendiri oleh para anggota organisasi profesi tersebut, justru dibatasi oleh MK. Hal ini terlihat dalam salah satu amar Putusan Nomor: 91/PUU-XX/2022,” kata Otto.

 

“Menyatakan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4288) yang menyatakan, ‘Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat Pusat mupun di tingkat daerah’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah’.”

 

Berikut adalah sejumlah alasan yang diberikan Otto, mengapa putusan MK ini sarat akan kekeliruan.

 

1. Kabur dan Tidak Dapat Dieksekusi

Putusan Nomor: 91/PUU-XX/2022 kabur, karena dalam putusan tersebut MK menyebutkan ‘Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, … dst’, tetapi tidak ada penjelasan yang menguraikan tentang siapa yang dimaksud dengan ‘pimpinan organisasi advokat’ tersebut.

Faktanya, yang dimaksud dengan pimpinan organisasi dalam organisasi advokat Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) terdiri atas Dewan Pimpinan Nasional (DPN) di tingkat pusat, yaitu ketua umum, wakil-wakil ketua umum, sekretaris jenderal, wakil-wakil sekretaris jenderal, bendahara umum, wakil-wakil bendahara umum dan lain-lain, serta Dewan Pimpinan Cabang (DPC) yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia yang dipimpin oleh ketua, wakil-wakil ketua, sekretaris, para wakil sekretaris, bendahara, wakil-wakil bendahara, dan lain-lain.

Selain itu, jika putusan MK tersebut dipaksakan untuk diterapkan, akan terjadi kelumpuhan pada kepengurusan organisasi-organisasi advokat yang ada saat ini, sebab organisasi-organisasi advokat tersebut dipimpin oleh kepengurusan yang sudah melewati masa jabatan dua kali periode. Oleh karena itu, baik dalam pertimbangan maupun amar putusan dalam perkara tersebut tidak jelas mengenai siapa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘pimpinan organisasi advokat’ yang diatur tentang masa jabatannya, sehingga mengakibatkan putusan tersebut menjadi kabur (obscuur libel), tidak dapat dieksekusi (non executable),  dan tidak memiliki implikasi yuridis terhadap organisasi advokat.

 

2. Melanggar Prinsip Keadilan

Putusan Nomor: 91/PUU-XX/2022 melanggar prinsip keadilan, karena melanggar asas audi et alterampartem di mana hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja sebagai pihak yang benar. Hal ini sejalan dengan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang disampaikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh dalam Putusan Nomor: 91/PUU-XX/2022, bahwa dalam perkara tersebut perlu didengar keterangan dari pihak-pihak lain, baik DPR, pemerintah, maupun pihak terkait, yang dalam hal ini adalah organisasi advokat.

Pada kenyataannya, MK dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan dalam perkara tersebut hanya membaca dan mendengar keterangan dari pemohon, sama sekali tidak mendengar keterangan dari pihak-pihak yang lain. Padahal, sangat jelas bahwa ketentuan peraturan perundangan yang dimohonkan uji oleh pemohon menyangkut kepentingan organisasi advokat. Namun, MK tidak mendengar keterangan dari organisasi advokat sebagai pihak terkait dalam perkara tersebut, dan tidak ada saksi maupun ahli yang diperiksa.

 

3. Logika Berpikir Keliru

Logika berpikir yang menjadi dasar pertimbangan MK dalam menjatuhkan Putusan Nomor: 91/PUU-XX/2022 sangatlah keliru, karena menganalogikan kepemimpinan dalam organisasi profesi (dalam hal ini organisasi advokat) sebagai suatu bentuk ‘kekuasaan’ yang harus dibatasi dan dikontrol oleh negara, seperti halnya kepemimpinan dalam lembaga aparatur hukum negara (kehakiman, kejaksaan dan kepolisian). Hal tersebut tidaklah benar, karena kepengurusan dalam suatu organisasi advokat berlandaskan pada ‘pengabdian dan pelayanan’ di mana semua pengurusnya tidak digaji, termasuk ‘pimpinan organisasi’ tersebut. Selain itu, sumber keuangan organisasi advokat bukan berasal dari pemerintah, sehingga tidak tepat apabila ‘kepemimpinan’ dalam organisasi advokat dianggap sebagai ‘kekuasaan’ yang harus dibatasi dan dikontrol oleh negara melalui undang-undang.

 

4. Bentuk Pengekangan

Dibatasinya masa jabatan pimpinan organisasi advokat jelas merupakan bentuk pengekangan yang tidak sah menurut konstitusi, di mana organisasi advokat bukan dibentuk oleh pemerintah, melainkan dibentuk oleh para anggota yang terdiri atas para advokat yang mempunyai independensi untuk berserikat sebagaimana dimaksud pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Kedaulatan tertinggi dalam organisasi profesi advokat berada di tangan anggota, dan anggotalah yang berwenang untuk membuat aturan mengenai organisasinya sendiri. Termasuk menentukan dan menyepakati bersama tentang masa jabatan pimpinan organisasi.

 

“Dengan demikian, Putusan MK Nomor: 91/PUU-XX/2022 ini tidak dapat dilaksanakan (non executable), karena akan mengakibatkan kelumpuhan pada kepengurusan organisasi-organisasi advokat yang ada saat ini, dan akan menimbulkan kegaduhan yang tidak berkesudahan karena pimpinan-pimpinan organisasi yang jumlahnya tidak sedikit tersebut harus turun dari jabatannya, baik di tingkat pusat/nasional maupun di tingkat cabang/daerah, dan tidak dapat lagi menjadi pimpinan, sehingga kegaduhan tidak mungkin dapat dihindarkan. Jadi, sekali lagi Putusan MK Nomor: 91/PUU-XX/2022 tidak memiliki implikasi yuridis terhadap organisasi advokat,” Otto menegaskan.

 

Pada Senin (31/10), Mahkamah Konsitusi (MK) telah menggelar sidang dengan agenda pembacaan Putusan Nomor: 91/PUU-XX/2022. “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama, baik secara bertutur-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 yang disiarkan di kanal YouTube MK.

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi).

Tags: