Alasan Pemerintah Soal Ambang Batas dan Verifikasi Parpol
Utama

Alasan Pemerintah Soal Ambang Batas dan Verifikasi Parpol

Pemerintah menganggap partai politik lama tidak diperlukan lagi diverifikasi secara detail lantaran dapat menghabiskan anggaran dan berpengaruh terhadap waktu pemilihan. Soal ambang batas pencalonan presiden, merupakan cermin dukungan awal kuat dari DPR.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Mendagri Tjahjo Kumolo di sidang MK, Senin (25/9). Foto: RES
Mendagri Tjahjo Kumolo di sidang MK, Senin (25/9). Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi beberapa pasal dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Agenda sidang kali ini mendengarkan keterangan pemerintah yang langsung disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Sidang kali ini, Mahkamah menggabungkan sekaligus enam permohonan. Antara lain, Perkara No. 59/PUU-XV/2017 Effendi Gazali yang mempersoalkan Pasal 222, Perkara No. 60/PUU-XV/2017 Sekjen Partai Solidaritas Indonesia yang mempersoalkan Pasal 173 ayat (1) dan ayat (2) huruf e dan ayat (3).

Perkara No. 61/PUU-XV/2017 Kautsar dan Samsul Bahri mempersoalkan Pasal 557, Perkara No. 62/PUU-XV/2017 Partai Persatuan Indonesia Hary Tanoesoedibjo mempermasalahkan Pasal 173 ayat (3). Perkara No. 44/PUU-XV/2017 Habiburokhman mempersoalkan Pasal 222 dan Perkara No. 53/PUU-XV/2017 Partai Idaman mempersoalkan Pasal 173 dan Pasal 222.

Dalam keterangannya, Tjahjo mengatakan, pemilihan umum merupakan salah satu pilar demokrasi yang diwujudkan berdasarkan kedaulatan rakyat. Atas dasar itu, untuk menjaga kualitas pemilu maka diperlukan UU Pemilu yang harus dilaksanakan dengan efektif dan efesien.

(Baca Juga: Aktivis Pemilu Turut Gugat Ambang Batas Pencalonan Presiden)

“UU No. 7 Tahun 2017 merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR dalam membahas semangat yang sama untuk mewujudkan sistem presidensial yang efektif, efesien dengan aturan hukum yang ada. Demi mewujudkan pemerintah yang demokrasi di masa yang akan datang,” kata Tjahjo di gedung MK di Jakarta, Senin (25/9).

Ia menjelaskan partai politik peserta pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan dan lulus verifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu. Hal ini berarti partai-partai yang memiliki kualifikasi dan kompetensi berdasarkan persyaratan tertentu yang digunakan sebagai tolak ukur kepercayaan rakyat sangat penting untuk meningkatkan mutu, efesiensi, efektivitas penyelenggara pemilu. “Baik di DPRD I, DPRD II dan DPR RI yang ditentukan dengan suara terbanyak,” tandasnya.

Selain itu, prinsip seluruh partai yang mengikuti pemilu mutlak dilakukan kualifikasi, baikterhadappartai lama maupun partai baru. Namun, bentuk verifikasi yang dilakukan berbeda. Perbedaan itu bukanlah sebagai bentuk perlakukan yang tidak adil terhadap peserta pemilu. Tetapi lebih kepada percepatan proses, efisiensi dan efektivitas proses verifikasi.

“Sebab partai lama sudah mendapatkan dukungan dari masyarakat dalam mekanisme pemilu lima tahun yang lalu,” katanya.

(Baca Juga: PBB Resmi Gugat Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden)

Tjahjo menyebutkan terdapat 73 partai politik yang mempunyai badan hukum. Di mana dalam pemilihan umum Tahun 2014 terdapat 61 partai politik yang tidak lolos verifikasi. Dan saat ini ingin berpartisipasi kembali dalam pemilu 2019. Maka wajib untuk melakukan verifikasi kembali.

“Terhadap 12 partai politik lainnya, tidak diperukan verifikasi kembali secara detail. Karena telah terbukti lolos dalam verifikasi sebelumnya,” katanya.

12 partai tersebut antara lain Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Indonesia.

Tjahjo berpendapat jika terhadap partai lama dilakukan verifikasi secara detail, maka justru akan menghabiskan anggaran dan menggangu waktu pelaksana pemilihan, karena tolok ukurnya pun sama seperti verifikasi sebelumnya. Atas serangkaian alasan tersebut, makatidak perlu lagi dilakukan verifikasi secara detail terhadap 12 partai tersebut, mengingat efesiensi dan efektivitas pemilu tahun 2019.

Mengenai penguatan keterwakilan perempuan, Tjahjo merujuk pada Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 bahwa sepanjang batas kuota 30 persen dan diharuskan satu perempuan dari tiga calon anggota legislatif, dinilai cukup memadai. Sehingga,jaminan keterlibatan perempuan lebih besar di setiap pemilihan umum.

Sementara di pihak lain, lanjut Tjahjo, masyarakat pemilih ekstabilitas perempuan memasuki ranah politik yang bukan semata-mata statusnya sebagai perempuan. Tetapi, juga dari sisi kapasitas dan kapabilitas sebagai legislator.

(Baca juga: Aktivis Pemilu Turut Gugat Ambang Batas Pencalonan Presiden)

Ambang Batas
Tjahjo mengatakan, ketentuan aturan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20-25 persen (presidential threshold) yang dibalut dalamPasal 222 UU Pemilu sudah sesuai konstitusi. Menurutnya, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional pemilu sebelumnya.

“Ini merupakan sebuah cermin adanya dukungan awal yang kuat dari DPR. Di mana DPR merupakan simbol dari keterwakilan rakyat, pasangan calon presiden dan wakil presiden,” katanya.

(Baca Juga: Kelompok Advokat Ini Persoalkan Ambang Batas Pencalonan Presiden)

Ia juga menjelaskan hal ini dimaksudkan pada dua kali pemilihan presiden secara langsung 10 tahun yang lalu dengan menggunakan standar yang sama. Seperti halnya pemilihan kepala daerah serentak di 101 daerah selama ini dimiliki partai politik maupun gabungan partai politik.

Tjahjo juga berpendapat Pasal 22 mencerminkan calon presiden dan wakil presiden telah mewujudkan manifestasi kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 yang tidak bertentangan pula dengan hak konstitusional dalam pilkada serentak tahun 2024.

Selanjutnya, Tjahjo juga merujuk Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 angka 3 yang dalam pertimbangannya bahwa pendelegasian dalam political threshold yang diatur dalam UUD dan UU lainnya sepanjang tidak disriminatif. Maka, legal policy threshold tidaklah bertentangan dengan UUD.
Tags:

Berita Terkait