Anggaran Dialihkan untuk Penanganan Covid-19, Bagaimana Mekanisme Pertanggungjawabannya?
Berita

Anggaran Dialihkan untuk Penanganan Covid-19, Bagaimana Mekanisme Pertanggungjawabannya?

Jika tidak mengubah asumsi makro dan jumlah APBN, tak perlu persetujuan. Tetapi sebaiknya ada Perppu.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Relawan membagi masker gratis kepada penumpang. Pemerintah alihkan anggaran untuk penanganan Covid-19. Foto: RES
Relawan membagi masker gratis kepada penumpang. Pemerintah alihkan anggaran untuk penanganan Covid-19. Foto: RES

Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.  4 Tahun 2020 tentang Refocussing Anggaran, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Inti dari Inpres ini adalah agar pemerintah daerah dan Kementerian/Lembaga (K/L) anggaran yang sebelumnya telah ditetapkan diubah untuk difokuskan kepada penanganan Covid-19.

Pertanyaannya, bagaimana mekanisme perubahan tersebut? Apakah harus persetujuan DPR atau tidak? Bagaimana pula pertanggungjawaban atas refocussing anggaran tersebut?

Pengajar Hukum Keuangan Publik Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Dian Puji Simatupang menyatakan pengalihan dan pergeseran anggaran yang tanpa mengubah asumsi makro dan keseluruhan jumlah APBN tidak memerlukan persetujuan tetapi cukup pembahasan dengan anggota Dewan. Namun pertanggungjawabannya nanti akan dilakukan bersamaan dengan penyampaian RUU perhitungan anggaran negara dalam laporan realiasasi anggaran tahun ini. Dian Puji menyinggung UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

“Dalam Pasal 27 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2003, penyesuaian anggaran dapat dilakukan dengan pembahasan. Dalam hal DPR reses atau kondisi tidak memungkinkan seperti sekarang (wabah Covid-19), pemerintah menggunakan Pasal 27 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003, dengan mengubah alokasi dan penyampaian dalam laporan realisasi anggaran,” ujarnya kepada hukumonline

(Baca juga: Tangani Covid-19, Pemerintah Siapkan Sejumlah Landasan Hukum Baru).

Berdasarkan pasal tersebut, Pemerintah Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan prognosis untuk enam bulan berikutnya. Laporan ini disampaikan ke DPR selambat-lambatnya akhir Juli tahun anggaran untuk dibahas bersama DPR dan Pemerintah Pusat. Penyesuaian APBN dengan perkembangan atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dan Pemerintah Pusat dalam rangka prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran jika terjadi beberapa hal. Pertama, perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN. Kedua, perubahan pokok-pokok kebijakan fiscal. Ketiga, keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja. Keempat, keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.

Selanjutnya ditentukan bahwa dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun anggaran  bersangkutan berdasarkan perubahan untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran bersangkutan berakhir.

Dian menjelaskan, ada empat hal utama berkaitan dengan kondisi tersebut. Pertama, Presiden menetapkan kebijakan pengalihan dalam suatu keputusan kabinet dan menetapkan keputusan atau instruksi mengenai pengalihan alokasi agar menjadi dasar hukum adanya kondisi ini dan penetapannya. Kedua, Menteri Keuangan segera berkonsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai kondisi ini beserta Keppres keadaan darurat dan menyatakan kondisi demikian tidak memungkinkan proses pertanggungjawaban sebagaiamana seharusnya. Surat Menkeu ke BPK dan jawaban BPK dapat dijadikan dasar pelaksanaan pertanggungjawaban keuangan itu kelak.

Ketiga, BPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan LKPP dalam pengadaan harus menyatakan kondisi proses pengeluaran anggatan dan pengadaan pada periode tertentu adalah keadaan darurat sehingga tidak menjadi kerumitan di saat nanti setelah kondisi usai. Ini penting agar ketiga lembaga tidak mempersoalkan proses refocussing anggaran yang dilakukan pemerintah. “Ketiga lembaga harus mengeluarkan ketentuan atau surat yang menyataakan periode waktu anggaran sekarang adalah kondisi darurat dan tdk menghunakan mekanisme lain yang normal. Hal ini untuk menghindari pertanggungjawaban yang menggunakan cara normal,” ujarnya.

Keempat, BPKP ditugaskan Presiden mendampingi dan mengawasi agar semua berjalan sesuai dengan manfaat dan tujuannya sesuai. “Jadi proses maupun pertanggungjawabannya menggunakan cara yang luar biasa dan bukan mekanisme normal,” tambahnya.

Mengenai pertanggungjawaban yang dimaksud, Dian menjelaskan, pertanggungjawaban dalam proses pengadaan barang dan jasa serta pengeluaran anggaran tidak perlu menggunakan mekanisme normal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pemerintah dapat menggunakan pedoman tersendiri yang ditetapkan Menkeu atau menteri atau gubernur untuk keadaan luar biasa darurat.

“Jadi tinggal keluarkan pedoman pelaksanaan APBN/APBD. Makanya peran BPKP sebagai lembaga pengawas intern pemerintah sebagai pendamping dan mengingatkan proses ini,” terangnya.

Saat ditanya apakah Inpres yang dikeluarkan cukup kuat untuk menjadi landasan hukum Pemda dan Kementerian/Lembaga untuk mengubah anggaran? Dian membenarkannya. “Cukup kuat karena yang utama adanya dokumen yang menegaskan keadaan ini memang darurat,” tuturnya.

(Baca juga: Ini Isi Inpres tentang Relokasi Anggaran Covid-19).

Tidak hanya untuk K/L Pusat, proses yang sama juga berlaku untuk Pemerintah Daerah. Dian berpendapat untuk dapat melaksanakan proses ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri) perlu mengeluarkan pedoman pelaksanaan APBD dalam keadaan darurat. Ini yang akanmenjadi pedoman dan dasar bagi daerah dalam pelaksanaan keadaan darurat. Sama halnya dengan K/L, BPKP perwakilan provinsi dapat mendampingi proses tersebut di daerah.

Harusnya Perppu

Sekjen Forum Indonesia untuk Transparan Anggaran (FITRA), Misbah Hasan berbeda pandangan mengenai dasar hukum. Menurutnya Inpres No. 4 Tahun 2020 belum cukup menjadi dasar hukum untuk merubah alokasi anggaran Pemda serta Kementerian/Lembaga dalam hal penanganan virus Covid-19. Misbah berpendapat, seharusnya Presiden mengeluarkan Perppu, bukan Inpres.

“Ini mungkin dianggap langkah taktis Presiden dengan mengeluarkan Inpres, bukan Perppu terkait corona. Kalau Inpres tidak membutuhkan persetujuan DPR karena sifatnya teknis-administratif yang harus dijalankan oleh K/L. Tapi perubahan APBN kan bukan hanya terkat dengan hal teknis-administratif, tapi juga hal strategis, jadi menurut saya keliru kalau,” ujarnya.

Misbah berpendapat untuk menjalankan perubahan anggaran ini pemerintah harus transparan dalam realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 ini, sehingga DPR dan masyarakat dapat terlibat dalam proses pengawasan. Kemudian pola pertanggungjawabannya harus bisa diukur berdasar kinerja anggaran (input, output, outcome, beneficieries, dan impact-nya).

“BPK dan KPK juga musti terus memantau penggunaan realokasi anggaran ini. Jangan sampai ada potensi penyimpangan yang dapat merugikan warga yang terkena dampak Covid-19 ini,” jelasnya.

Rekomendasi Banggar DPR

Sebelumnya, Badan Anggaran DPR mengeluarkan tiga rekomendasi kepada Pemerintah berkaitan dengan penanggulangan Covid-19. Rekomendasi pertama, Pemerintah perlu segera menerbitkan Perppu yang merevisi No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, terutama bagian Penjelasan. Revisi ‘Penjelasan’ yang memberikan kelonggaran deficit APBN dari 3 persen menjadi 5 persen dari Produk Domestik Bruto dan rasio utang terhadap PDB tetap 60 persen.

Rekomendasi kedua, Pemerintah perlu segera menerbitkan Perppu APBN 2020, mengingat sulitnya melaksanakan Rapat Paripurna DPR dalam waktu dekat, sebagai konsekuensi kebijakan social distance. Perppu dibutuhkan Pemerintah untuk menyesuaikan kembali APBN 2020 dengan kondisi wabah yang sedang dihadapi dan kemungkinan beberapa bulan ke depan.

Rekomendasi ketiga, Pemerintah diminta menerbitkan Perppu atas UU Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan. Poin penting dari penerbitan Perppu ini adalah memberikan insentif PPh orang pribadi dengan tarif PPh 20 persen bagi yang simpanannya di atas Rp100 miliar. Namun yang bersangkutan wajib memberikan kontribusi kepada negara sebesar Rp1 miliar untuk pencegahan dan penanganan Covid-19 ke BNPB sebagai Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19.

Tags:

Berita Terkait