Antikorupsi di Tengah Bencana Covid-19
Kolom

Antikorupsi di Tengah Bencana Covid-19

Karena ini soal kemanusiaan, maka yang dikedepankan adalah hati untuk melayani. Jika sampai di persidangan DPR, sebaiknya Perppu ini ditolak saja sehingga ketentuan bencana dalam UU Tipikor tetap berlaku efektif.

Bacaan 2 Menit

 

Perppu pada dasarnya adalah pernyataan sepihak dari Presiden sesuai Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 berbunyi “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Parameter kegentingan memaksa telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 yaitu:  (1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara tepat berdasarkan Undang-Undang; (2) Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan (3) Kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

 

Pertanyaan hukum yang muncul adalah apakah Presiden berwenang menentukan soal kerugian negara/bukan kerugian negara dalam sebuah Perppu? Selama ini ada dua lembaga/instansi rujukan yang bertugas menentukan ada atau tidak adanya kerugian negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. BPK merupakan badan original dari Pasal 23E UUD 1945.

 

Kedua, Pasal 27 ayat (2)  Perppu berpotensi mengganggu kewenangan penindakan korupsi dalam keadaan tertentu (bencana) oleh aparat penegak hukum sebagaimana diberikan oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Keadaan tertentu dalam UU No. 20/2001 diartikan keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Pasal 27 seolah-olah menghapuskan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Hal ini sebagai konsekuensi adanya asas lex posterior degorat legi priori (hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama).

 

Menurut Penulis, konsepsi dalam Perppu mungkin saja untuk menjauhkan fungsi kontrol atau fungsi koreksi dari lembaga lain terhadap tindakan pemerintah yang kemungkinan bisa jadi keliru atau beleid tersebut adalah pesanan/ekspresi dari pejabat yang takut dikriminalisasi ketika nanti menjalankan kebijakan. Pada hal seperti yang dimaksudkan dalam Perppu, pejabat tidak dapat dipidana maupun digugat perdata hingga diuji PTUN kebijakan/keputusannya jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sudah barang tentu, tidak ada hukuman tanpa kesalahan atau tidak ada tuntutan tanpa kerugian. Tanpa menyatakan hal tersebut, secara mutatis mutandis berlaku. Hal yang sama bila dipandang dari segi doktrin, iktikad baik harus memenuhi syarat kewajaran (redelijkheid) dan kepatutan (billijkheid). Bila memenuhi aspek tersebut, tidak ada orang yang harus dihukum.

 

Meskipun, ada orang yang berdalih bahwa tidak mungkin ada pihak yang mengambil keuntungan dalam situasi seperti ini. Namun, data membuktikan korupsi bencana merupakan fakta hukum yang terjadi di Indonesia. Dari catatan Indonesia Corruption Watch, selama sepuluh tahun terakhir terdapat sedikitnya 87 kasus korupsi dana bencana yang telah ditangani oleh kepolisian, kejaksaan, ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi. Titik rawan korupsi dana bantuan bencana terletak pada tahap tanggap darurat, rehabilitasi, dan pemulihan atau rekonstruksi lokasi bencana. Karena alasan bencana dan darurat, uang jutaan bahkan miliaran rupiah sering digelontorkan tanpa pengawasan dan pertanggungjawaban yang jelas (Yuntho, 2020).

 

Nikmati Akses Gratis Koleksi Peraturan Terbaru dan FAQ Terkait Covid-19 di sini.

 

Contoh korupsi bencana di beberapa daerah misalnya terhadap dana tanah longsor Majalengka pada 2014, korupsi peta bencana Sumatera Utara, korupsi shelter tsunami di Banten pada 2012, korupsi dana rekonstruksi dampak erupsi Merapi di Magelang pada 2012, korupsi dana penanganan puting beliung di Serang pada 2012, pembobolan dana bencana Mojokerto pada 2013, korupsi logistik bencana Kudus pada 2014. Kemudian, ada korupsi pembangunan pemecah ombak di Kolaka pada 2012, dan korupsi konferensi penggalangan dana Aceh pasca gempa-tsunami pada 2005 lalu (Hafil, 2019).

Tags:

Berita Terkait