Apa yang Salah dengan TGPTPK?
Fokus

Apa yang Salah dengan TGPTPK?

Ketua Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) Andi Andojo Soetjipto menyatakan mundur sebagai ketua TGPTPK. Alasannya, ia merasa sudah tujuh bulan TGPTPK bekerja, tapi belum ada satupun perkara korupsi yang bisa diajukan ke pengadilan. Ia juga menilai tidak ada itikad serius dari pemerintah untuk memberantas korupsi.

Nay/APr
Bacaan 2 Menit

Belum lagi adanya aturan-aturan hukum normal yang selama ini menghambat pemberantasan korupsi, seperti sistem pembuktian, rahasia perbankan, rahasia jabatan, tindakan kepolisian terhadap pejabat negara, dan lain-lain.

Sistem yang ordinary tadi terbukti dimanfaatkan dengan sangat efektif oleh para pemegang kekuasaan maupun pemegang sumber-sumber kekayaan negara yang korup, sehingga mereka resisten terhadap segala usaha pemberantasan korupsi.

Putusan praperadilan PN Jakarta Selatan yang menyatakan bahawa TGPTPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus korupsi sebelum berlakunya UU No 31 tahun 1999 jelas merupakan contoh nyata prosedur penegakan hukum dan aparat penegak hukum menjadi kendala dalam upaya TGPTPK memberantas korupsi.

Untuk mengatasi hal itu, TGPTPK mencari jalan keluar. Kini, untuk perkara tindak pidana berdasarkan UU No 31 tahun 1971 administrasinya dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), walaupun pengendaliannya tetap berada pada TGPTPK. Entah apakah penyelesaian dengan cara ini berhasil atau tidak mengingat dengan cara ini kendali berarti ada di tangan Jampidsus. Pasalnya, "bendera" yang digunakan adalah bendera Jampidsus.

Contoh lain hambatan yang datang dari penegak hukum adalah menyangkut prosedural tindakan kepolisian terhadap para hakim yang diperluas cakupannya oleh Mahkamah Agung (MA) dengan fatwa MA No KMA/125/RHS/VIII/1991 tanggal 31 Agustus tahun 1991.

Dengan adanya fatwa itu, tindakan untuk pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap para hakim harus atas perintah jaksa agung dan mendapat persetujuan ketua MA dan Menteri Kehakiman/Agama.

Padahal sebelum adanya fatwa itu, hanya penangkapan dan penahanan terhadap hakim yang memerlukan persetujuan ketua MA dan menteri, serta atas perintah Jaksa Agung. Dengan adanya fatwa ini dan tentu saja melihat pada kondisi di MA pada khususnya serta peradilan pada umumnya, penanganan korupsi dengan tersangka hakim seperti yang dilakukan oleh TGPTPK menjadi terhambat. Pasalnya, ketua MA enggan memberi ijin dengan alasan yang dicari-cari.

Halaman Selanjutnya:
Tags: