Akibat dari pola rekruitmen itu, wajar jika kemudian muncul perbedaan persepsi. Hal ini karena perbedaan komitmen dalam memberantas korupsi. Akibatnya, anggota tim tidak dapat bekerja sama dengan baik.
Fakta bahwa anggota TGPTPK sampai saat ini belum melaporkan harta kekayaan mereka pada masyarakat juga menjadi satu titik kelemahan mereka. Sebagai anggota tim yang akan memberantas korupsi, seharusnya menjadi kewajiban mereka untuk lebih dulu bersikap transparan. Sikap itu akan menimbulkan kepercayaan dari masyarakat pada mereka.
Sebuah tim yang akan meberantas korupsi di tengah masyarakat yang korupsinya sudah parah tentu memerlukan PR (public relations) yang baik. Sayang sekali, TGPTPK tidak memilki hal tersebut. Padahal masyarakat yang sudah muak dengan korupsi, seharusnya dapat menjadi pendukung yang kuat bagi TGPTPK. Selama ini, anggota TGPTPK tidak dapat berbicara langsung pada publik dan juga tidak ada pihak yang dapat menjadi jembatan antara mereka dan publik.
Melihat semua kendala ini, wajarlah jika banyak pihak, termasuk ketua TGPTPK sendiri yang sudah patah arang menghadapi kondisi ini. Lalu bagaimana dengan pemberantasan korupsi di negeri ini? Apakah kita hanya akan menunggu terbentuknya komisi anti korupsi yang kini draf UU-nya sedang digodok di Depkeh?
Jika jawabannya ya, lalu selama menunggu apakah korupsi yang terjadi akan kita diamkan saja? Mungkin ada yang bilang, apalah artinya mendiamkan sebentar lagi. Toh, selama ini kita juga sudah mendiamkan korupsi terlalu lama. Duh, beratnya memberantas korupsi.