Apakah Kebiri Kimia adalah Solusi?
Kolom

Apakah Kebiri Kimia adalah Solusi?

​​​​​​​Persoalan kebiri kimia ini menjadi momentum yang tepat untuk menyadarkan kita bahwa politik kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan harus disusun secara rasional, bukan emosional.

Bacaan 2 Menit

 

Apabila ditelusuri, ancaman pidana yang diatur dalam undang-undang sebenarnya sudah cukup berat tanpa harus menambahkan tindakan kebiri kimia sebagai tindakan tambahan. Namun demikian, persoalan klasik yang kerap kali muncul dalam praktik adalah aturan yang telah berlaku sebagai hukum positif yang sebenarnya ancaman pidananya sudah cukup berat ternyata tidak diterapkan secara konsisten.

 

Kemudian kita menggunakan logika jump to conclusion untuk menerapkan hukuman yang lebih kejam lagi supaya pelaku jera tanpa diimbangi dengan melakukan evaluasi berkala terkait sejauh mana penegakan hukum telah dilakukan secara konsisten dan untuk kemudian melihat sejauh mana penurunan angka kejahatan telah terjadi.

 

Tujuan Pemidanaan yang Tidak Jelas

Agar tidak menimbulkan keragu-raguan dan perbedaan penerapan hukum sebagai implikasi dari perbedaan persepsi masing-masing penegak hukum, undang-undang harus secara tegas merumuskan apa yang menjadi tujuan pemidanaan. Teori pemidanaan mengalami perkembangan mulai dari tujuan pemidanaan yang sifatnya pembalasan (retributif) di mana penjatuhan pidana dipandang sebagai penderitaan/nestapa yang harus diberikan pada pelaku kejahatan (backward looking), bergeser menjadi tujuan pemidanaan yang sifatnya menimbulkan efek jera (deterrence), hingga tujuan pemidanaan yang sifatnya rehabilitatif.

 

Dalam tujuan pemidanaan yang sifatnya menimbukan efek jera dan atau merehabilitasi, pendekatan yang digunakan sudah bersifat forward looking dimana penjatuhan pidana tidak sebatas berorientasi pada pembalasan, namun harus dipastikan penjatuhan pidana tersebut memberikan manfaat, yaitu mencegah kejahatan (prevensi) sebagai tujuan utama pemidanaan. Perumusan tujuan pemidanaan ini menjadi persoalan penting mengingat Sistem Peradilan Pidana sebagai sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan pada prinsipnya memiliki beberapa tujuan, yaitu resosialisasi/pemasyarakatan narapidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah) dan kesejahteraan sosial (jangka panjang) dan tidak semata-mata pembalasan.

 

Dalam konteks kebiri kimia, muncul persoalan karena kebiri kimia dirumuskan undang-undang dalam bingkai hukuman yang sifatnya retributif atau pembalasan kepada pelaku, bukan dalam bingkai rehabilitasi. Hal ini terlihat misalnya dalam ketentuan Pasal 81 A ayat 3 UU 17/2016 yang menyatakan Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.” Dari ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pembentuk undang-undang melihat kebiri kimia sebagai suatu tindakan yang terpisah dari upaya rehabilitasi, padahal seharusnya kebiri kimia dilakukan justru dalam rangka rehabilitasi pelaku. Di beberapa negara kebiri kimia yang terbukti efektif justru dilakukan secara sukarela oleh pelaku yang menyadari bahwa ia terganggu karena dorongan seksual dalam dirinya yang sangat tinggi.

 

Karena sifatnya menghukum, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kemudian mengeluarkan pernyataan mereka menolak untuk menjadi eksekutor karena kebiri kimia bukan layanan medis dan apabila dokter melakukan eksekusi, hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik norma dengan kode etik kedokteran. Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) juga menolak kebiri kimia karena tindakan ini dianggap sebagai salah satu bentuk penyiksaan yang melanggar HAM sementara Indonesia sudah meratifikasi Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment.

 

Persoalan utama yang kita hadapi saat ini adalah apabila tujuan dilakukannya kebiri kimia adalah menimbulkan efek jera, kebiri kimia seharusnya dilakukan dalam bingkai rehabilitasi dan bukan hukuman karena sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya kebiri belum tentu menjadi solusi apabila pelaku yang melakukan kekerasan seksual ternyata melakukan perbuatannya karena gangguan kejiwaan atau karena faktor-faktor lain di luar dorongan seksual.

Tags:

Berita Terkait