APHKI: Instrumen HKI Jadi Alat Penjajahan Baru Negara-negara Maju
Terbaru

APHKI: Instrumen HKI Jadi Alat Penjajahan Baru Negara-negara Maju

Pandemi Covid-19 menyingkap kekuatan negara maju menguasai kekayaan intelektual global. Posisi negara berkembang termasuk Indonesia lemah.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit

Melihat kondisi tersebut, Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Freddy Harris, mendorong agar pelaku usaha sektor farmasi mendaftarkan kekayaan intelektualnya kepada negara. Pendaftaran tersebut untuk melindungi hak warga negara atas kekayaan intelektual dan meningkatkan daya saing dengan produk asing. Seperti diketahui, akibat pandemi Covid-19, impor obat dan bahan baku obat meningkat signifikan.

Freddy menjelaskan dengan melindungi hak kekayaan intelektual tersebut maka ketergantungan impor dalam penanganan pandemi Covid-19 jauh berkurang. Menurut Freddy, penanganan pandemi Covid-19 melalui obat-obatan lebih strategis dibandingkan vaksin. Terlebih lagi, produk vaksin yang digunakan di Indonesia merupakan impor. 

“Genose dari UGM itu lebih better dibanding yang lain karena dari bangsa saya. Kalau ada vaksin merah putih juga akan saya dukung. Setiap PCR (impor) nilainya US$ 15-20, kelihatannya kecil tapi kalau dikali 4 juta orang besar juga,” jelas Freddy.

Ironisnya, Freddy menceritakan produk booster berbahan temulawak atau kurkuma dan jahe dipasarkan di negara lain. “Saya lihat di Swiss muka pintu bandara dipajang kurkuma booster, ginger booster. Padahal, saya tahu produksi terbesarnya ada di negara ini. Bikin ngenes. Mau apa itu Genose atau apa saja kita dorong untuk daftarin, terserah politiknya seperti apa,” jelas Freddy.

Dia juga menyayangkan masih terdapatnya makelar yang membuat produk dalam negeri terhambat. Freddy mengatakan praktik makelar tersebut hanya bertujuan mencari keuntungan. “Persoalan bukan hanya di industrinya tapi hambatannya ada di pedagang, bilang lah obat dalam negeri tidak bagus,” kata Freddy.

Tags:

Berita Terkait