APSI Dukung Tanda Tangan Digital dalam Perma E-Litigasi
Berita

APSI Dukung Tanda Tangan Digital dalam Perma E-Litigasi

Tak hanya pada putusan/penetapan hakim, pembubuhan tanda tangan elektronik atau digital diharapkan bisa diterapkan pada jawaban/replik/duplik/alat bukti tertulis/kesimpulan dan dokumen elektronik lain yang relevan yang tersertifikasi.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MA Jakarta. Foto: RES
Gedung MA Jakarta. Foto: RES

Meski belum resmi diluncurkan, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (E-Litigasi) yang ditetapkan 6 Agustus 2019 dan diundangkan 8 Agustus 2019 dan Keputusan Ketua MA No. No. 129/KMA/SK/VIII/2019 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik mendapat apresiasi dan dukungan dari Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (DPP APSI).

 

Wakil Ketua Umum DPP APSI Thalis Noor Cahyadi mendukung MA yang telah menerbitkan Perma dan SK KMA itu terkait pelaksanaan e-court dan e-litigation dalam persidangan di pengadilan. Dengan adanya peraturan ini, landasan hukum administrasi perkara berbasis elektronik diharapkan terwujud tertib administrasi dan penanganan perkara secara profesional, transparan, akuntabel, efektif, efisien, dan modern.

 

“Mengingat Perma e-court belum tersosialisasikan dengan baik bagi advokat, hakim dan panitera di pengadilan daerah, kita berharap MA lebih intensif dan masif melakukan sosialisasi,” kata Thalis saat dikonfirmasi Hukumonline, Jumat (16/8/2019).

 

Thalis mengatakan nantinya para pihak yang berperkara daapat menyepakati penggunaan e-court dan e-litigation termasuk hakim dan panitera pengganti menggunakan dokumen elektronik mulai dari pendaftaran gugatan atau permohonan, jawaban, replik, duplik, hingga terbitnya salinan putusan hakim secara elektronik (soft copy). Perma No. 1 Tahun 2019 pun mengatur soal tanda tangan elektronik (digital signature).  

 

APSI menyoroti pengaturan tanda tangan secara elektronik yang berfungsi sebagai verifikasi dan autentikasi peradilan elektronik ini. APSI mendorong agar penerapan e-court dan e-litigation ini menggunakan tanda tangan elektronik yang tersertifikasi dalam rangka menjamin keamanan dokumen elektronik.

 

Dia menyarankan agar tanda tangan elektronik ini tak hanya dalam putusan atau penetapan hakim secara elektronik, tetapi juga semua dokumen elektronik yang dibutuhkan dalam e-litigasi seperti jawaban/replik/duplik/alat bukti tertulis/kesimpulan, dan dokumen elektronik lain yang relevan dapat membubuhkan tanda tangan elektronik yang tersertifikasi. (Baca Juga: 44 Pengadilan Percontohan Bakal Terapkan E-Litigation)

 

“Bagi APSI, penggunaan tanda tangan elektronik yang tersertifikasi sebuah keniscayaan menyongsong era revolusi 4.0, demi perlindungan dan keamanan dokumen elektronik para pihak termasuk pengadilan,” lanjutnya.

 

Seperti diketahui, Pasal 26 ayat (4) Perma No.1 tahun 2019 menyebutkan, “putusan/penetapan hakim secara elektronik dituangkan dalam bentuk salinan putusan/penetapan elektronik yang dibubuhi tanda tangan elektronik menurut peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. Ayat (5)-nya disebutkan “salinan putusan/penetapan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki kekuatan dan akibat hukum yang sah.

 

“Namun, disayangkan, SK KMA tentang teknis pembubuhan tanda tangan elektronik dalam Perma E-Litigasi ini tidak dijelaskan pedoman turunannya,” kata dia lagi.  

 

Dia menerangkan tanda tangan digital merupakan istilah untuk menjelaskan metode penandatanganan secara elektronik dengan menggunakan metode kriptografi asimetris dengan infrastruktur kunci publik. Secara teknis pembubuhan tanda tangan digital, dokumen elektronik yang akan ditandatangani secara digital merupakan dokumen elektronik yang dihasilkan melalui proses enkripsi dengan menggunakan kunci privat (password) dari plain text yang telah melalui proses hashing.

 

Kunci Privat, yang bisa dibuat secara unik oleh masing-masing individu, memiliki pasangan kunci yang terkait secara matematis yang disebut dengan kunci publik. Kemudian dilekatkan pada sertifikat elektronik bersama dengan dokumen elektronik yang telah dienkripsi. Sifat pasangan kunci itu adalah hasil enkripsi yang dihasilkan dari salah satu kunci, hanya di enkripsi dengan menggunakan dengan kunci pasangannya.

 

“Kunci privat dapat membuka enkripsi yang dihasilkan dengan menggunakan kunci public. Dan begitu pula sebaliknya,” jelasnya.

 

Dengan menggunakan kunci publik yang melekat pada sertifikat elektronik, sistem dapat memeriksa apakah kunci publik terhadap individu yang tercantum dalam sertifikat elektronik dapat membuka enkripsi dengan menggunakan kunci privat. Apabila enkripsi tersebut dapat dibuka, berarti kunci publik dan kunci privat tersebut saling terkait.

 

Dari situ, kata dia, dapat menyimpulkan hanya informasi dan identitas yang tercantum dalam sertifikat elektronik adalah valid. Pihak yang menerbitkan pasangan kunci beserta dengan sertifikat elektronik disebut sebagai Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSE) atau Certificate Authority (CA),” jelasnya.

 

“Sekali lagi, DPP APSI mendukung penuh pelaksanaan Perma No.1 tahun 2019 dan terus mendorong MA untuk terus berinovasi menyongsong era digital, salah satunya menggunakan tanda tangan digital dalam administrasi penanganan perkara,” katanya.  

Tags:

Berita Terkait