Menurut Subardi SH, dirinya selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak bisa untuk memerintahkan hakim di lingkungan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat untuk menolak memeriksa perkara yang materinya terdapat klausul arbitrase.
"Terserah hakim yang memeriksa apakah akan menolak atau meneruskan kasus tersebut. Hakim kan mempunyai kemandirian masing-masing dan nggak boleh terikat satu sama lain. Saya nggak bisa memerintahkan kepada hakim di sini untuk menolak memeriksa kalau dalam suatu perjanjian ternyata ada klausul arbitrase," komentar Subardi kepada hukumonline.
Obyek sengketa
Isu selanjutnya adalah menyangkut obyek sengketa yang bisa diselesaikan lewat arbitrase. Apakah klausul arbitrase harus ditafsirkan secara sempit atau luas. Menurut pasal 5 UU Arbitrase, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Dalam beberapa kasus yang terjadi di Pengadilan Niaga, timbul perdebatan apakah terhadap perjanjian yang terdapat klausul arbitrase, apabila timbul sengketa yang bermuara pada gugatan pailit terhadap salah satu pihak, maka klausul arbitrase harus dikesampingkan?
Ada dua pendapat untuk permasalahan ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa klausul arbitrase adalah sesuatu yang absolut. Dengan demikian, Pengadilan Niaga harus menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa sengketa yang terdapat klausul arbitrase di dalamnya. Asumsinya, hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Niaga yang merupakan bagian dari Peradilan Umum adalah HIR. Pendapat ini dianut oleh hakim-hakim Pengadilan Niaga (Lihat kasus PT Enindo vs. PT Putra Putri Fortuna Windu, red)
Namun, Mahkamah Agung berpendapat bahwa klausul arbitrase dalam suatu perjanjian tidak dengan sendirinya menyebabkan Pengadilan Niaga dalam masalah kepailitan tidak berwenang mengadilinya.
Pasal 616 Rv menyatakan antara lain tentang hibah, perceraian, sengketa status seseorang dan sengketa-sengketa yang diatur oleh ketentuan perundang-undangan tidak dapat diajukan penyelesaian ke arbitrase. Ini berarti perkara kepailitan tidak dapat diajukan penyelesaiannya kepada arbitrase karena kepailitan telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No.4/1998 tentang Kepailitan (Lihat putusan kasasi 012/K/N/1999)