AS Vs Keadilan Internasional
Bhatara Ibnu Reza

AS Vs Keadilan Internasional

Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden George W. Bush melakukan perlawanan terang-terangan terhadap keberadaan International Criminal Court (ICC) sejak berlaku efektif pada 1 Juli 2002. Beberapa alasan yang dikemukakan AS adalah pertama, ICC memperkecil peran Dewan Keamanan (DK) PBB dalam menjaga perdamaian (peace) dan keamanan (security) internasional.

Bacaan 2 Menit

         

Setelah melalui perundingan yang panjang, akhirnya pada 12 Juli 2002 DK PBB mengabulkan permintaan AS tersebut. Dengan Resolusi DK PBB nomor 1422 (2002), AS berhasil mendapatkan penangguhan penyelidikan atau penuntutan dari ICC selama 12 bulan ke depan.

         

Reaksi keras kembali bermunculan dari penjuru dunia. Negara-negara sekutu AS di Eropa sekali lagi mencemooh usaha AS tersebut. Menlu Jerman, Joshka Fischer menyatakan tindakan DK PBB mengeluarkan resolusi tersebut tidak berdampak pada perubahan fundamental dari statuta khususnya mengenai reservasi. Reaksi sangat keras datang dari Belgia dengan menyatakan resolusi DK PBB telah menghilangkan kredibilitas ICC,  hal sama juga dilakukan oleh Kanada yang menyatakan bahwa DK PBB tidak memiliki hak untuk melakukan interpretasi terhadap isi statuta. Hal ini terkait dengan belum adanya perjanjiaan kerjasama antara ICC dengan PBB yang disahkan dalam sebuah perjanjian. Uni Eropa kali ini bersikap berbeda dengan menyambut resolusi kompromi tersebut tetapi tetap menyatakan resolusi tersebut tidak mengubah secara fundamental ketentuan statuta.

         

Resolusi DK PBB tidak memberikan kekebalan penuh (blanket immunity) kepada AS. Menurut Duta Besar Perancis untuk PBB, Jean-David Levitte, tidak ada pemberian kekebalan penuh kepada para pasukan penjaga perdamaian, tidak ada pencegahan atau kekebalan secara umum maupun permanen.

         

Sekalipun demikian, para aktivis HAM internasional dan LSM HAM internasional menyayangkan langkah kompromi tersebut. Tergambar dari pernyataan pengacara Human Rights Watch, Richard Dicker yang mengatakan hal itu sebagai bentuk rongrongan ketidakberpihakan dan independensi mahkamah.

 

Perkembangan terakhir, pada 12 Juni 2003 DK PBB kembali mengeluarkan sebuah resolusi nomor 1487 (2003) yang sekaligus kembali memperpanjang penangguhan penyelidikan atau penuntutan dari ICC hingga 12 Juni 2004.

 

Perjanjian bilateral AS dengan negara-negara di dunia

 

Pemerintahan Bush juga mencoba membuat perjanjian bilateral (bilateral agreement) dengan negara-negara di dunia, terutama sekali negara-negara yang telah menjadi pihak dalam ICC. Hal ini dilakukan oleh AS yang mengintrepretasikan pasal 98 (Article 98) Statuta Roma yang terdiri dari dua ayat. Pasal 98 (1) :

 

The Court may not proceed with a request for surrender or assistance which would require the requested State to act inconsistently with its obligations under international law with respect to the State or diplomatic immunity of a person or property of a third State, unless the Court can first obtain the cooperation of that third State for the waiver of the immunity

 

Sedangkan pasal 98 (2) menyatakan:

 

The Court may not proceed with a request for surrender which would require the requested State to act inconsistently with its obligations under international agreements pursuant to which the consent of a sending State is required to surrender a person of that State to the Court, unless the Court can first obtain the cooperation of the sending State for the giving of consent for the surrender.

 

Pasal ini kemudian diinterpretasikan oleh AS  untuk memperbolehkan suatu negara melakukan pengecualian terhadap yurisdiksi ICC. Untuk itu, AS merancang perjanjian bilateral dengan negara-negara di dunia baik yang telah meratifikasi (state partiei), negara yang menandatangani Statuta Roma (signatories states), dan negara yang belum menjadi pihak (non-state parties). AS menghormati negara-negara yang telah menjadi pihak dalam ICC karenanya perjanjian bilateral ini merupakan bentuk penghormatan dari negara-negara tersebut atas keberatan AS sebagai negara non-pihak.

 

Tugas ini dilaksanakan oleh Under Secretary of for Arms Control and International Security yang merupakan bagian dari Departemen Luar Negeri AS (Secretary of State). Negara pertama yang menadatangani perjanjian bilateral dengan AS adalah Rumania yang telah menjadi pihak dalam ICC pada 1 Agustus 2002. Perjanjian itu bersifat non-reciprocical, sehingga tidak berlaku pada personil pasukan Rumania. Kini, Rumania mencoba untuk menegosiasikan kembali perjanjian tersebut dengan AS setelah mendengar pertimbangan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa. Tercatat, 49 negara yang kini  memiliki perjanjian bilateral kepada AS baik itu berlaku secara non-reciprocical maupun reciprocical.

 

AS mendapatkan perlawanan yang keras dari negara-negara Uni Eropa yang menolak untuk melakukan perjanjian tersebut. Council of the European Union telah mengeluarkan petunjuk berkaitan dengan perjanjian yang ditawarkan AS kepada negara-negara Uni Eropa yang telah menjadi pihak dalam ICC. Salah satu petunjuk yang dikeluarkan adalah perjanjian yang telah ditandatangani oleh AS dengan negara pihak ICC yang juga sebagai pihak dalam ICC dianggap sebagai sekadar SOFA dan perjanjian menyangkut kerjasama hukum dalam permasalahan-permasalahan kejahatan termasuk esktradisi.

 

Menurut Uni Eropa, perjanjian yang diajukan oleh AS bertentangan dengan kebijakan no impunity.  Selain itu, perjanjian tersebut  tidak konsisten dengan tanggungjawab negara pihak dalam menghormati Statuta Roma serta perjanjian-perjanjian internasional lainnya di mana negara tersebut menjadi pihak.

 

Tanggapan lebih keras dilakukan oleh Parliamentary Assembly Council of Europe dalam Resolusi 1336 (2003)  mengutuk tindakan-tindakan yang menekan beberapa negara anggota Dewan Eropa berkaitan dengan perjanjian yang diajukan oleh AS. Negara-negara di Karibia yang tergabung dalam  Carribean Community (CARICOM) dipimpin oleh Trinidad and Tobago secara tegas menyatakan mendukung prinsip-prinsip yang terdapat dalam Statuta Roma serta menolak perjanjian bilateral yang diajukan oleh AS.   

Kembali Human Rights Watch  dalam analisisnya menyebut perjanjian itu sebagai Bilateral Impunity Agreement (BIA). Mereka berpendapat setiap negara yang telah menjadi pihak dalam ICC tidak diperkenankan secara hukum (may not lawfully) mengadakan perjanjian  mengenai pemberian kekebalan terhadap yuridiksi ICC  kepada negara yang tidak menjadi pihak dalam ICC.

Pasal 98 (2) tidak dapat dipandang sebagai pembenaran dari negara pihak untuk mengambil keuntungan dengan melindungi warga negarnya dari yurisdiksi ICC. Pasal 98 justru dimasukan dalam Satuta Roma untuk memberikan proses yang benar dan rasional dalam menangani tersangka untuk bekerjasama dengan ICC. Pasal ini tidak dapat memperkenankan suatu negara yang telah menolak bekerjasama dengan ICC membuat perjanjian yang memberikan perlindungan kepada warga negaranya yang justeru mengurangi (undermine) fungsi ICC.

 

Dalam kaitannya dengan ASPA, khususnya mengatur tentang larangan pemberian bantuan militer kepada negara-negara yang telah menjadi pihak dalam ICC, telah jelas diatur di sana bahwa presiden dengan mandatnya dapat melakukan penanggalan bantuan militer terhadap negara-negara tertentu dengan dalih kepentingan nasional. Dengan demikian, tanpa harus menandatangani perjanjian apapun  termasuk perjanjian mengenai kekebalan terhadap ICC.

 

AS bukan contoh baik

 

Apa yang dilakukan AS dengan seluruh upayanya itu merupakan tindakan yang tidak menghormati ICC, negara yang telah menjadi pihak yang memiliki tanggungjawab untuk menghormati ICC serta negara yang telah menandatangani Statuta Roma. AS bukanlah contoh yang baik dalam penghormatan HAM khususnya dalam penegakan international justice and accountability.

 

Yang terjadi immunity yang diperjuangkannya adalah sebuah kampanye impunity di tingkat internasional. Tujuan pembentukan ICC adalah menghentikan praktek impunity dan pelaku (perpetrator) tidak dapat berlindung dibalik ketentuan nasional karena pelaku pelanggaran HAM berat menyandang status pariah yaitu musuh umat manusia (hostis humanis generis).

 

Karenanya, adalah kewajiban dari masyarakat internasional untuk melakukan penangkapan, penahanan, ekstradisi dan peradilan terhadap para pelakunya tanpa memandang kewarganegaraannya.  Ini diatur di dalam Principles of international co-operation in the detection, arrest, extradition and punishment of persons guilty of war crimes and crimes agains humanity yang diadopsi oleh melalui Resolusi Majelis Umum PBB (XXVIII) tanggal 3 Desember 1973.

 

Pada 17 Juli 2003, ICC memasuki tahun ke-5 dan sekaligus dicanangkan sebagai hari keadilan internasional dunia (World Day for International Justice) yang mengingatkan kewajiban masyarakat internasional untuk memutus rantai impunity (cyle of impunity).  Kemudian, apa yang harus dilakukan kita lakukan?

 

Yang kita lakukan adalah mendorong dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk secara aktif menempatkan diri sebagai bagian dari negara-negara beradab yang mendukung diselenggarakannya ICC melalui ratifikasi/aksesi terhadap Rome Statute of International Criminal Court.  Sekaligus, mengambil langkah-langkah aktif menolak setiap upaya pendekatan yang dilakukan Pemerintah AS untuk meminta immunity terhadap warga negaranya yang berujung pada impunity.

 

 

Bhatara Ibnu Reza adalah peneliti IMPARSIAL The Indonesian Human Rights Monitor

Tags: