Aspek Yuridis Transaksi Derivatif di Indonesia (I)
Kolom

Aspek Yuridis Transaksi Derivatif di Indonesia (I)

Kasus-kasus transaksi derivatif kembali menjadi buah bibir di Indonesia, khususnya setelah terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda Indonesia. Nilai mata uang rupiah terus melemah kemudian diikuti dengan melonjaknya suku bunga sampai pada posisi yang menyakitkan dan melumpuhkan bagi seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia, baik dalam aktivitas nasional maupun internasional.

Bacaan 2 Menit
Aspek Yuridis Transaksi Derivatif di Indonesia (I)
Hukumonline

Umumnya dalam kasus-kasus tersebut, banyak nasabah yang mengalami kerugian  akibat dari transaksi derivatif tersebut tidak bersedia untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Dan menariknya, nasabah malah melakukan gugatan terhadap bank-bank penyedia dan pemberi fasilitas untuk melakukan transaksi tersebut dengan dalil-dalil yang lebih menekankan pada permasalahan tentang status hukum dari keberadaan jenis transaksi komersial tersebut di Indonesia.

Sayangnya dari putusan-putusan pengadilan, hakim-hakim yang menangani perkara tersebut tampaknya juga  lebih terperangkap analisis pada akibat-akibat atau resiko-resiko yang besar yang memang terkandung dalam jenis transaksi  yang (dianggap) tidak mempunyai ukuran yang pasti (fluktuatif)  tersebut. Hakim mestinya secara dalam dan bijak mempertanyakan apakah transaksi tersebut memang diperlukan oleh masyarakat bisnis dalam aktivitas bisnis yang sudah mengglobal di mana Indonesia, suka atau tidak suka, harus ada di dalamnya.

Memulai pengenalan dan pemahaman tentang transaksi derivatif lewat kisah kerugian luar biasa (mega loss sebesar AS$1 miliar) yang masih saja dapat dialami sebuah bank  senior (blue-blood  merchant Bank) dari Inggris yang telah berumur 233 tahun melalui cabangnya di Singapura pada 1995, atau kerugian yang dialami oleh Procter & Gamble sebesar AS$157 juta dan harus dibayarkan kepada Banker Trust sebagai counterparties dalam melakukan transaksi swaps.

Demikian juga kerugian luar biasa yang dialami oleh Bank Duta di dalam  negeri, bukanlah suatu cara pengenalan dan pemahaman yang bijak. Hal ini mengingat, cara pengenalan tersebut akan dengan sangat kuat menekan dan membenamkan  sisi-sisi positif  yang melatarbelakangi eksistensi dan pentingnya  transaksi tersebut untuk terus dipertahankan pada masyarakat dunia usaha. Walaupun, hal ini tidak dimaksudkan untuk tidak perlu menganalisa potensi resiko dari transaksi tersebut.

Tulisan ini akan memfokuskan pembahasan terhadap aspek yuridis dari transaksi derivatif di Indonesia. Tujuannya, untuk memberikan gambaran sejauh mana perangkat hukum Indonesia telah menjadi dasar dari keabsahan transaksi tersebut. Selain itu, juga menjadi dasar dari upaya meminimalisasi potensi kerugian para pihak yang bertransaksi melalui  prinsip kehati-hatian dan transparansi informasi serta pensyaratan atas  kemampuan para pihak dalam  transaksi tersebut.

Tulisan ini juga akan mencoba menganalisis sejauh mana kebenaran dari mitos-mitos yang dimunculkan nasabah dan dalam beberapa hal menjadi dasar analisis dari putusan hakim, antara lain: pertama, transaksi derivatif merupakan perjanjian untung-untungan yang diklasifikasikan sebagai judi. Kedua, pihak nasabah umumnya "dibujuk rayu" dalam melakukan transaksi derivatif. Ketiga, bank memberikan fasilitas kredit (cerukan) untuk bertransaksi derivatif.

Landasan hukum

Menurut Surat Keputusan Direksi bank Indonesia No. 28/119/KEP/DIR tanggal 29 Desember 1995, (sebagai salah satu landasan hukum dari transaksi derivatif), definisi dari transaksi derivatif  adalah:

Tags: