Badan Arbitrase, Proses Arbitrase, dan Pengadilan Negeri: Sebuah Distingsi
Kolom

Badan Arbitrase, Proses Arbitrase, dan Pengadilan Negeri: Sebuah Distingsi

Distingsi ini, meskipun telah diajarkan sejak di bangku kuliah, masih perlu untuk terus ditegaskan.

Kolase Muhamad Dzadit Taqwa (kiri) dan Anangga W. Roosdiono (kanan). Foto: Istimewa
Kolase Muhamad Dzadit Taqwa (kiri) dan Anangga W. Roosdiono (kanan). Foto: Istimewa

Masih banyak pihak yang mempunyai salah pengertian mengenai arbitrase sebagai suatu badan dan sebagai suatu proses beracara dengan mencampuradukkan arti dan fungsinya. Pencampuradukkan tersebut dilakukan secara tidak sengaja karena adanya kekeliruan berpikir atau justru secara sengaja sehingga menciptakan sebuah asumsi yang salah untuk kepentingan diri.

Dalam banyak permohonan pembatalan, ditemukan bahwa badan arbitrase – BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dalam hal ini – disangkutpautkan sebagai turut termohon atau bahkan termohon. Seakan-akan, BANI, sebagai badan, terlibat atau berkontribusi secara langsung dalam sebuah putusan arbitrase yang diputuskan oleh Majelis Arbitrase yang terdaftar di BANI tetapi ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa. Padahal, posisi BANI terbatas pada pengelolaan institusi dan administrasi, sementara Majelis Arbitrase memiliki otonomi yang seluas-luasnya terhadap sengketa yang dimohonkan untuk diselesaikan. Ada implikasi-implikasi hukum penegasan distingsi ini.

Bukan hanya pencampuradukkan antara badan dan proses arbitrase, masih banyak pihak yang menyamakan badan arbitrase dan segala prosedurnya dengan Pengadilan Negeri. Meskipun di dalam perjanjian para pihak yang bersengketa sudah dituliskan klausul arbitrase, ada pihak-pihak yang tetap mengajukan penyelesaian sengketanya melalui Pengadilan Negeri dan tetap diterima oleh Pengadilan Negeri untuk diselesaikan.

Tidak hanya itu saja, dalam proses berarbitrase, ditemukan adanya pihak-pihak yang membawa nuansa adversarial ke dalam ruang persidangan arbitrase yang orientasinya, padahal, adalah menyelesaikan sengketa. Bentuknya adalah dengan penudingan atau penyalahan satu sama lain tanpa memberikan pengertian kepada Majelis Arbitrase.

Dengan kata lain, orientasinya adalah tidak untuk menyelesaikan sengketa, tetapi untuk mendapatkan klaim yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, tulisan ini hendak mendudukkan kembali distingsi antara badan arbitrase dengan kedua hal tersebut agar kekeliruan yang terjadi tidak berkelanjutan.

Baca juga:

Membedakan Badan dan Proses Arbitrase

Kekeliruan dalam membedakan antara badan dan proses arbitrase dapat berasal dari beberapa hal. Hal pertama adalah adanya keterbatasan atau kekaburan norma relevan dalam memberikan penjelasan, khususnya dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait