Badan Arbitrase, Proses Arbitrase, dan Pengadilan Negeri: Sebuah Distingsi
Kolom

Badan Arbitrase, Proses Arbitrase, dan Pengadilan Negeri: Sebuah Distingsi

Distingsi ini, meskipun telah diajarkan sejak di bangku kuliah, masih perlu untuk terus ditegaskan.

Bacaan 6 Menit

Ada batas yang kabur dalam hubungan antara badan/lembaga dan proses arbitrase. Berdasarkan Pasal 1 angka 8, lembaga arbitrase (selanjutnya disebut “badan”) adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan suatu sengketa. Pemahaman awam atas pasal ini adalah bahwa badan arbitrase adalah entitas yang menyelesaikan sengketa; padahal, subjek hukum yang menyelesaikan sengketa adalah persoon yang terdaftar sebagai arbiter dalam badan arbitrase.

Sebagai contoh dalam BANI, telah ditegaskan dalam Pasal 1 Peraturan dan Prosedur Arbitrase BANI Tahun 2022 bahwa BANI bukanlah lembaga pemutus sengketa tetapi merupakan lembaga independen yang mengadministrasikan proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan Majelis Arbitrase.

Salah satu bentuk administrasi tersebut adalah penyediaan daftar arbiter yang dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa mereka; di samping itu, BANI juga menyiapkan prosedur berarbitrase. Dalam konteks tertentu, para pihak dapat memohonkan, kepada Ketua BANI, arbiter yang tidak terdaftar tetapi keahliannya sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa.

Bahkan, terhadap Majelis Arbitrase yang telah dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa, Ketua BANI dan jajarannya tidak boleh melakukan intervensi atau mengetahui materi persengketaan. Hubungan antara badan dan arbiter bukan hubungan yang bersifat subordinatif kontraktual. Walaupun pengaturan pembayaran biaya arbiter dilakukan oleh badan, hal tersebut hanya merupakan bagian dari Peraturan dan Prosedur Badan dan tidak berimplikasi pada eksistensi hierarkisme antara keduanya.

Selain dikarenakan keterbatasan penjelasan dalam UU a quo, tidak ada Perma atau SEMA yang juga memberikan pengertian atas distingsi tersebut dalam mekanisme pembatalan putusan arbitrase di pengadilan. Sehingga, pihak yang mengajukan permohonan tidak memiliki arahan mengenai apakah badan arbitrase dapat ditarik menjadi pihak turut termohon atau bahkan termohon.

Dengan adanya kekhawatiran bahwa permohonannya akan ditolak karena kurang pihak, badan arbitrase, yang dalam hal ini hanya sekadar mengurus administrasi, juga tetap ditarik ke dalam. Menurut Penulis, jikalau mekanisme pembatalan tetap ingin dipertahankan, cukup objek yang dipersoalkan adalah putusan arbitrase tanpa harus mengaitkan dengan pihak pembuatnya sebagaimana – sebagai sebuah analogi – permohonan pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi.

Distingsi ini diperlukan karena ada prinsip kerahasiaan yang harus dijaga. Segala informasi berkaitan dengan sengketa hanya tersirkulasi di dalam ruang persidangan arbitrase. Berbeda dengan tata beracara yang berlaku di Pengadilan Negeri (Pasal 13 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman), penyelesaian sengketa melalui arbitrase dilakukan secara tertutup untuk umum (Pasal 27 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait