Bahasa Hukum: Sumber Hukum Formal Bernama ‘Yurisprudensi’
Reformasi Peradilan:

Bahasa Hukum: Sumber Hukum Formal Bernama ‘Yurisprudensi’

Tradisi mengikuti putusan hakim terdahulu sebenarnya sudah lama dipraktekkan di Indonesia. Meski tak wajib, yurisprudensi bisa menjadi panduan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Di Indonesia, selama puluhan tahun, Mahkamah Agung menjaga tradisi menghimpun putusan-putusan yang dianggap sebagai yurisprudensi. Beberapa tahun terakhir, putusan-putusan terpilih –tidak menggunakan istilah yurisprudensi—dipublikasikan bersamaan dengan Laporan Tahunan Mahkamah Agung. Ada juga yurisprudensi tentang kedudukan janda dalam pewarisan; ahli waris pengganti; dan hak isteri yang berbeda agama dari suaminya.

 

Seiring bertambahkanya pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia, maka yurisprudensi bukan saja datang dari Mahkamah Agung dan empat lingkungan peradilan di bawahnya, tetapi juga dari putusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya, putusan mengenai hak pilih keturunan orang tua yang terkena tuduhan anggota Partai Komunis Indonesia; putusan tentang hubungan anak yang lahir di luar nikah dengan ayah biologisnya, dan putusan mengenai hak buruh dalam kepailitan.

 

Yurisprudensi tetap dan yurisprudensi tidak tetap

Dalam praktek hukum di Indonesia, dikenal pula istilah ‘yurisprudensi tetap’ dan ‘yurisprudensi tidak tetap’. Kamus Hukum karya M Marwan da Jimmy P mengartikan yurispruensi tetap sebagai putusan hakim yang terjadi karena rentetan putusan yang sama dan dijadikan dasar atau patokan untuk memutuskan suatu perkara. Sebaliknya, yurisprudensi tidak tetap sebagai putusan hakim terdahulu yang belum masuk menjadi yurisprudensi tetap.

 

Ahmad Kamil dan M. Fauzan dalam buku Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (2004: 8-13) menuliskan belum ada defisini jelas tentang apa itu ‘yurisprudensi tetap’ dan ‘yurisprudensi tidak tetap’. Cuma, ditegaskan dalam buku itu, untuk dapat dikategorikan yurisprudensi harus melalui proses eksaminasi dan notasi dari Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi.

 

Hasil penelitian BPHN pada 1995 menyimpulkan bahwa suatu putusan hakim dapat disebut sebagai yurisprudensi, apabila putusan hakim itu memenuhi unsur-unsur berikut: (a) Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya; (b) Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap; (c) Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama; (d) Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan; dan (e) Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

 

Dari pendapat dan pendirian beberapa hakim agung Mahkamah Agung, ‘yurisprudensi tetap’ adalah: putusan-putusan hakim tingkat pertama, banding, atau putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, atas perkara atau kasus yang belum jelas aturan hukumnya yang memiliki muatan keadilan dan kebenaran, telah diikuti berulang kali oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara yang sama, putusan mana telah diuji secara akademis oleh majelis yurisprudensi di Mahkamah Agung dan telah direkomendasikan sebagai yurisprudensi tetap yang berlaku mengikat dan wajib diikuti hakim-hakim di kemudian hari’. Contoh yurisprudensi tetap adalah bunga yang tidak diperjanjikan sebesar 6 persen per tahun.

 

Yurisprudensi tidak tetap adalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap namun belum melalui uji eksaminasi dan notasi tim Mahkamah Agung dan belum ada rekomendasi untuk menjadi yurisprudensi tetap.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait