Bakal Ada Asuransi Pengangguran? Simak 4 Alasan Pembenar Versi Buruh
Utama

Bakal Ada Asuransi Pengangguran? Simak 4 Alasan Pembenar Versi Buruh

Buruh mendukung dengan syarat tertentu. Pengusaha memilih ‘jaring pengaman’.

Oleh:
ADY TD ACHMAD
Bacaan 2 Menit
Demo buruh menuntut upah. Foto: SGP
Demo buruh menuntut upah. Foto: SGP
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas, Bambang S. Brodjonegoro, menggagas asuransi pengangguran bagi pekerja yang terkena PHK. Dananya diambil dari APBN. Tetapi Bambang mengingatkan asuransi pengangguran baru sebatas gagasan atau ide awal.

Kalangan buruh menyambut baik gagasan itu. Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, menilai program pendanaan untuk pengangguran itu bisa menjadi solusi bagi buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut Timbul, ada 4 alasan yang membenarkan pentingnya program asuransi bagi pengangguran tersebut. (Baca juga: Tujuh Penyebabkan PHK yang Layak Anda Waspadai).

Pertama, sistem ketenagakerjaan yang ada di Indonesia memberi kemudahan bagi pemberi kerja untuk melakukan PHK. Apalagi dengan mekanisme perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau kontrak, outsourcing dan harian lepas. Penyelesaian perselisihan PHK dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) butuh waktu lama, bisa mencapai 3 tahun hingga selesai di tahap PK di Mahkamah Agung. Lamanya proses penyelesaian itu membuat buruh kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kedua, persoalan itu diperparah praktik pelanggaran pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, dimana pemberi kerja tidak membayar upah proses kepada pekerja selama proses penyelesaian PHK berlangsung. Padahal ketentuan itu memerintahkan pemberi kerja dan buruh tetap menjalankan hak dan kewajibannya seperti biasa sampai proses PHK selesai. (Baca juga: Upah Tak Dibayar, Buruh Ingin Ada Proses Pidana).

Ketiga, profil pekerja di Indonesia saat ini didominasi oleh buruh yang menerima gaji sebatas upah minimum. Upah yang diterima setiap bulan itu biasanya habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga tidak ada yang bisa dialokasikan untuk menabung. Kondisi itu rentan bagi buruh ketika mengalami PHK karena mereka tidak punya pendapatan lagi selain upah yang diterima setiap bulan.

Keempat, perekonomian Indonesia yang terbatas dalam menciptakan lapangan kerja berdampak pada sulitnya mencari lapangan kerja baru bagi buruh yang mengalami PHK. Sambil mencari pekerjaan baru, buruh yang mengalami PHK membutuhkan biaya untuk kebutuhan hidup setiap hari. Dukungan finansial itu penting guna menjaga daya beli buruh yang bersangkutan, tanpa itu mereka rentan masuk jurang kemiskinan. Apalagi kalau buruh kesulitan mencairkan dana Jaminan hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan. Hal tersebut membuat program JHT saat ini tidak sesuai amanat UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN. [Baca juga: DJSN Sebut Aturan JHT Tabrak Undang-Undang)

“Adanya dana pengangguran bisa membuat pekerja terbantu memenuhi kebutuhan hidup ketika mengalami PHK. Pekerja akan tertolong dalam proses PHK dan mencari pekerjaan. Selain itu dana JHT bisa menjadi dana jaminan hari tua yang sesungguhnya,” kata Timboel di Jakarta, Senin (07/11).

Sumber pendanaan untuk program asuransi pengangguran itu menurut Timboel bisa berasal dari APBN dan iuran pemberi kerja. Sumber dana itu berfungsi untuk menjamin keberlangsungan program tersebut. Untuk sementara, program itu bisa diberikan kepada buruh yang mengalami PHK paling lama untuk 12 bulan. Besarannya sesuai upah minimum setempat sampai dengan 60 persen dari upah yang diterimanya selama ini. Penerima program itu diutamakan buruh yang upahnya di bawah Rp10 juta per bulan.

Selain itu Timboel mengatakan sebagai dasar hukum, program itu mestinya dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Oleh karenanya perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasionak (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS untuk memasukan dana pengangguran sebagai program wajib.

Presiden KSPI, Said Iqbal, mendukung rencana tersebut karena jaminan sosial bagi pengangguran itu akan berdampak positif bagi buruh yang mengalami PHK. Walau mendukung usulan itu tapi Iqbal mengingatkan agar program tersebut tidak menghapus hak-hak buruh yang terkena PHK. Bermacam hak-hak buruh yang di-PHK itu telah diatur secara jelas dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diantaranya hak mendapat pesangon.

Iqbal menyebut program yang diusulkan pemerintah itu sejalan dengan konvensi ILO No.102 Tahun 1952 tentang Jaminan Sosial. “Program jaminan pengangguran ini baik karena bagian dari program social protection floor  dalam konvensi ILO selain 5 program jaminan sosial yang sudah ada (BPJS,-red),” ujarnya.

Iqbal menegaskan menolak program tersebut jika tujuannya mengurangi atau menghilangkan kewajiban pemberi kerja membayar pesangon terhadap buruh yang terkena PHK sebagaimana amanat pasal 156 dan 160 UU Ketenagakerjaan. Dia tidak ingin program ini hanya untuk pencitraan pemerintah, seolah mendukung kesejahteraan buruh tapi praktiknya justru merugikan karena mengurangi atau menghilangkan hak-hak buruh.

Bagi Iqbal jaminan untuk pengangguran itu bagian dari jaminan sosial yang diberikan pemerintah kepada warga negaranya. Penting diingat, jaminan pengangguran dan pesangon merupakan dua hal yang berbeda dan tidak boleh saling menghilangkan.

Sebelumnya, Ketua Umum DPN Apindo, Hariyadi B Sukamdani, mengatakan banyak negara mengatur adanya jaring pengaman (safety net) bagi masyarakatnya agar bisa mendapat penghasilan dalam level tertentu. Untuk kalangan buruh, upah minimum sebagai jaring pengaman.

Tapi Hariyadi menilai pemerintah belum menggulirkan jaring pengaman itu bagi masyarakat yang tidak bekerja. Hal ini berkaitan dengan tingkat kemiskinan, pemerintah perlu menjaga agar warganya punya penghasilan. “Soal jaring pengaman sosial ini negara harus fair, bagaimana dengan pengangguran (jaminan)?,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait