Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian II)
Kolom

Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian II)

Tulisan ini membahas poin penting antara lain tentang waktu yang tepat mengajukan somasi, dan pernyataan lalai.

Bacaan 2 Menit
Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian II)
Hukumonline

Kapan Perlu Somasi

Permasalahannya adalah, mengapa agar debitur berada dalam keadaan lalai, perlu ada pernyataan lalai?  Dalam peristiwa yang bagaimana somasi perlu dilancarkan?

 

Karena banyak perjanjian ditutup tanpa menetapkan batas akhir kapan debitur harus berprestasi, lalu bagaimana debitur tahu kapan ia harus berprestasi, bagaimana debitur tahu kreditur sudah menghendaki penyerahan prestasi perikatan? Bukankah dalam hal dalam perjanjian tidak ditetapkan waktu penyerahan, adalah layak, bahwa debitur menunggu kreditur menuntut prestasi perikatan?

 

Ya. Dan kalaupun ada disebutkan suatu ketentuan waktu, jangan lupa, BW menentukan, bahwa ketentuan waktu itu harus ditafsirkan untuk keuntungan si berhutang, debitur (vide Pasal 1270  BW). Pasal 1270 BW mengatakan: “Suatu ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan si berutang, kecuali jika dari sifat perikatannya sendiri, atau dari keadaan, ternyata bahwa ketetapan waktu telah dibuat untuk kepentingan si berpiutang“.

 

Lalu, bagaimana suatu ketentuan waktu ditafsirkan?

Kalau, misalkan, telah ditetapkan bahwa utang-piutang itu – dengan bunga 7% setahun -- berlaku sampai tanggal 1 September 2010, maka ketentuan waktu itu – sesuai dengan ketentuan Pasal 1270 BW -- harus ditafsirkan untuk keuntungan debitur.

 

Bagaimana ketentuan waktu ditafsirkan, agar menguntungkan debitur?

Agar ketentuan waktu itu menguntungkan debitur, maka caranya adalah: dari sejak hutang ada, debitur berhak untuk sewaktu-waktu melunasi hutang itu, sedang kreditur baru boleh menagih pada tanggal yang disepakati (Ps. 1759 BW), dengan cara mensomir debitur agar membayar. Mengapa masih perlu disomir? Karena kreditur pada asasnya bebas untuk minta pelunasan pada tanggal 1 September 2010, atau membiarkan hutang itu tetap berjalan terus, karena masih ingin menikmati lebih lanjut bunga 7% setahun itu. Bagaimana debitur tahu, bahwa kreditur sudah menghendaki pelunasan? Kalau dalam perjanjian hanya ditentukan, bahwa obyek perjanjian harus diserahkan 14 hari sesudah perjanjian ditutup, maka kalau setelah 14 hari lewat, penjual tetap belum menyerahkan obyek perjanjian, pembeli – yang menghendaki penyerahan -- harus melancarkan somasi lebih dahulu, sebelum menuntut ganti rugi dan atau pembatalan perjanjian. Kiranya suatu cara berpikir yang logis dan patut. Cara berpikir seperti itu juga dianut oleh suatu Pengadilan di Belanda (Hof Amsterdam 7 April 1919, NJ. 1920, 145, dalam WPNR 2662, 1921, hal. 6). Dengan kata lain, penyebutan waktu disini tidak diterima sebagai termijn batal (batas akhir prestasi).

 

Apakah, kalau kreditur sudah menghendaki debitur berprestasi, kreditur bisa minta debitur untuk segera memenuhi kewajiban prestasi debitur?

 

Ya, tergantung dari yang namanya “segera“ itu seberapa lama. Yang pasti, kalau kreditur sudah menghendaki debitur berprestasi, kiranya patut, kalau kepada debitur diberikan waktu yang layak memenuhi kewajibannya. Untuk sekedar contoh, kalau kita membeli barang di toko, maka penjual harus memberikan waktu yang layak bagi pembeli untuk membayar harganya, demikian juga dengan pembeli, yang juga harus memberikan waktu yang pantas agar penjual bisa menyerahkan barangnya. Penjual kiranya tidak boleh membatalkan jual beli dengan mengatakan, tadi waktu saya menyetujui penawaran anda, anda tidak segera menerimanya sih, sekarang saya sudah tidak mau lagi menjual dengan harga itu lagi. Wah, kalau begitu kan repot, mestinya kepada pembeli harus diberikan kesempatan untuk memikirkan, apakah ia akan mengakseptir penawaran penjual atau tidak. Pergaulan hidup dalam masyarakat akan sangat sulit, kalau para pihak yang akan menutup perjanjian tidak mau untuk saling memberikan toleransi untuk masing-masing pihak diberikan waktu untuk mempertimbangkan, apakah akan menerima suatu penawaran atau tidak.  Mestinya harus ada tenggang waktu yang pantas. Itulah dasar dari berlakunya asas dalam hukum yang mengatakan, penawaran mengikat untuk suatu jangka waktu tertentu. Dalam tenggang waktu penawaran-mengikat, yang memberikan penawaran tidak boleh menolak akseptasi dari lawan janjinya. Namun, mengingat lamanya jangka waktu mengikat itu ditentukan berdasarkan benda obyek perjanjian dan keadaan yang ada pada saat perjanjian ditutup – jadi tidak ada patokan umum untuk itu – maka dikatakan, bahwa tenggang waktu itu haruslah patut. Semuanya harus dilihat itu concreto. Yang pasti, jangka waktu itu tidaklah harus sedemikian lamanya, supaya debitur yang selama ini enak-enakan saja -- tidak membuat persiapan-persiapan -- bisa menyelesaikannya, kalau ia baru mulai sejak ada somasi (demikian pendapat HR 11 Januari 1934, NJ. 1934, 310). Kalau membangun rumah butuh 6 bulan, maka sesudah ia tinggal diam selama 5 bulan, tidak harus diberikan waktu 5 bulan lagi untuk menyelesaikannya.

 

Karenanya, suatu somasi agar debitur segera membayar uang sewa yang tertunggak– yang, karena tidak menyebutkan tenggang waktu, tentunya ditafsirkan pada saat itu juga -- tidak dibenarkan, dengan konsekuensinya, tidak mempunyai akibat hukum sebagai suatu somasi, demikan pendapat dari Pengadilan tertinggi dimasa Nederlands Indie, yaitu HgH Batavia (17 April 1930, dalam T. 132 : 201). Kalau kreditur mensomir debitur, tetapi tidak memberikan tenggang waktu yang pantas bagi debitur untuk memenuhi permintaan kreditur, maka orang boleh beranggapan, bahwa kreditur tidak serius menghendaki prestasi debitur. Kreditur nampaknya sengaja membuat debitur tidak bisa memenuhi kewajiban perikatannya. Dalam peristiwa seperti itu kita perlu curiga, bahwa kreditur sendiri, dalam kedudukannya sebagai debitur dalam perikatan yang lain, yang timbul dari perjanjian yang sama, mungkin sekali tidak bisa memenuhi kewajiban perikatanya dan agar ia tidak kena somasi, ia mensomir lebih dahulu – dengan tenggang waktu yang tidak mungkin dipenuhi oleh debiturnya – agar ia selamat. Dalam peristiwa seperti itu kiranya patut untuk dikatakan, kreditur dengan somasi itu tidak mempunyai itikad baik. Mungkin dia sendiri tidak bisa memberikan prestasi yang dijanjikan dan karenanya berusaha untuk menuntut pembatalan perjanjian. Jadi dalam melancarkan somasi kreditur harus melakukannya dengan itikad baik (mengenai hal ini lihat komentar dibawah nanti).

 

Apa artinya kalau dikatakan “tidak mempunyai akibat hukum sebagai suatu somasi“? Artinya debitur tidak berada dalam keadaan lalai, sekalipun ia tetap saja tidak berprestasi, tidak menanggapi teguran kreditur.

 

Permasalahannya yang selalu muncul adalah, seberapa lama waktu yang “layak/pantas“ itu. Sudah dikatakan, tidak ada patokan umum, kesemuanya bergantung dari fakta dan keadaan yang ada pada saat perjanjian ditutup. Semuanya dinilai in concreto.

 

Kalau dalam somasi kreditur harus menetapkan, kapan – dalam tenggang waktu yang layak -- debitur paling lambat harus berprestasi, dan lewatnya waktu yang ditetapkan menjadikan debitur berada dalam keadaan wanprestasi, apakah dengan demikian bisa kita simpulkan, bahwa melalui somasi, kreditur bisa membuat suatu perjanjian yang tidak mempunyai batas akhir prestasi (termijn batal) menjadi mempunyai termijn batal dengan melancarkan somasi?

 

Ya, benar sekali, dengan berpegang kepada prinsip seperti tersebut diatas, maka suatu perjanjian yang tidak mengandung ketentuan waktu bisa dibuat menjadi mempunyai ketentuan waktu – bahkan ketentuan waktu sebagai termijn batal – dengan melancarkan somasi.

 

Fungsi Pernyataan Lalai

Diluar peristiwa, dimana debitur dengan sendirinya telah wanprestasi dengan lewatnya waktu yang ditentukan (ex re), somasi mempunyai fungsi untuk menetapkan debitur berada dalam keadaan lalai.  Pernyataan dalam “keadaan lalai“ penting sekali bagi kreditur dan akan membawa akibat hukum yang sangat besar bagi debitur. Sebagai telah dikemukakan diatas, didalam “keadaan lalai“ terkandung unsur “salah“ (dalam arti luas). Untuk itu dapat dikemukakan Pasal 1243 BW, yang untuk jelasnya kita kutip: “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatanya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya“.

 

Dalam pasal tersebut di atas dengan tegas dikatakan, bahwa debitur baru diwajibkan membayar penggantian biaya, rugi dan bunga, setelah dilancarkan somasi, yang telah diabaikan oleh debitur, atau dengan kata lain, setelah debitur dalam keadaan lalai (wanprestasi). Ditinjau dari sudut kreditur, kreditur baru berhak atas penggantian biaya, rugi dan bunga, kalau debitur telah berada dalam keadaan lalai (wanprestasi).

 

Anak kalimat Pasal 1243 BW yang berbunyi “jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya“ tertuju kepada peristiwa dimana debitur telah wanprestasi ex re.

 

Fungsi Penyebutan Waktu Pelaksanaan Eksekusi

Kalau penyebutan waktu dalam perjanjian tidak diartikan sebagai batas akhir debitur bisa berprestasi, apakah dengan begitu penyebutan waktu penyerahan menjadi sama sekali tidak berguna?

 

Tidak begitu, karena sekalipun ketentuan waktu disini bukan merupakan temijn batal (bukan batas akhir prestasi), namun ketentuan waktu tetap penting bagi kreditur, karena waktu itu menentukan, sejak kapan ia berhak untuk menuntut pemenuhan dan kalau somasi diberikan menjelang waktu itu dan menuntut agar debitur paling lambat harus berprestasi pada tanggal itu, maka sejak ketentuan waktu itu sikap tinggal diam dari debitur tidak perlu ditolerir.

 

Bagaimana kalau terjadi ada suatu perjanjian, dalam mana disepakati, bahwa pekerjaan memasang gorden dan perlengkapan rumah harus selesai pada suatu tanggal tertentu, apakah – apabila pekerjaan ternyata belum selesai -- dengan lewatnya tanggal itu saja debitur belum dapat dikatakan telah wanprestasi dan untuk itu masih perlu disomir?

 

Memang disini telah ditentukan hari kapan pekerjaan harus selesai, namun kita juga harus mempertimbangkan, apakah para pihak memang menghendaki ketentuan waktu sebagai suatu termijn batal. Ingat, dalam menafsirkan suatu perjanjian, kita harus mengutamakan mencari kehendak para pihak, demikian Pasal 1343 BW. Kalau begitu, bukankah dalam praktek sehari-hari ketentuan waktu tidak ditafsirkan sebagai termijn batal dan sudah umum bahwa sepakat waktu dilanggar ? Bukankah kebiasaan turut menentukan arti dari suatu perjanjian  (Pasal 1346 BW). Kalau ada bikin baju, dan memperjanjikan baju harus selesai pada suatu hari tertentu, bukankah sudah biasa waktu penyelesaiannya molor? Kiranya peristiwa seperti itu juga sering dialami orang yang mereparasikan motor, mobil atau barang elektronik pada seorang reparatur. Bukankah sudah biasa – ada kebiasaan -- anda menegur debitur berkali-kali – sebelum anda melancarkan gugatan --  dengan mana anda secara diam-diam menganggap waktu yang telah disepakati tidak dimaksudkan sebagai termijn batal? Berdasarkan Ps. 1343 jo Ps. 1346 BW perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan kehendak para pihak dengan memperhatikan kebiasaan setempat.

 

Kesimpulannya: pada asasnya, lewatnya waktu yang disepakati saja, tidak cukup untuk menganggap debitur telah wanprestasi.

 

Permasalahan. Bagaimana kalau ketentuan waktu dalam perjanjian jual beli berkaitan dengan barang yang harganya sangat fluktuatif (yang naik turunnya cepat sekali), atau apakah penyebutan waktu pengkapalan – menyerahkan untuk diangkut dalam kapal – untuk kapal tertentu bukan merupakan batas akhir, dan karenanya debitur tidak wanprestasi dengan lewatnya waktu itu?

 

Kapal barang tidak berjalan menurut jadwal seperti kereta api atau bis. Kapal yang bersangkutan mungkin baru sandar lagi di pelabuhan yang sama setelah satu bulan, bahkan bisa lebih. Kalau setelah tanggal jadwal kapal itu lewat, debitur masih harus disomir, maka tenggang waktu yang diberikan harus sama dengan yang dibutuhkan bagi kapal itu untuk datang sandar lagi di pelabuhan semula, karena dalam perjanjian disepakati untuk peng-kapalan dengan kapal tertentu. Debitur tahu atau paling tidak seharusnya tahu, bahwa penyebutan nama kapal dan tanggal pengapalan merupakan faktor penting sekali bagi kreditur. Kiranya patut, kalau dalam peristiwa demikian penyebutan waktu dalam perjanjian harus dianggap sebagai batas akhir, sehingga debitur harus dianggap telah wanprestasi dengan lewatnya waktu itu.

 

Dengan demikian, apakah atas penyebutan suatu waktu dalam perjanjian harus ditafsirkan sebagai batas akhir atau bukan, ditentukan oleh fakta, peristiwa dan keadaan yang ada disekitar perjanjian itu. Kalau dalam perjanjian sewa menyewa telah disepakati, bahwa penyewa akan datang masuk dan menikmati rumah sewa pada suatu hari tertentu, maka kalau pada hari itu pemilik belum menyiapkan rumah agar penyewa bisa masuk rumah sewa, maka kiranya penyewa tidak perlu melancarkan somasi, karena bisa dibayangkan, mungkin calon penyewa pada hari yang ditentukan sudah datang dengan truk membawa semua perkakas rumah tangganya, mungkin sudah melepaskan rumah sewa yang lama, lalu apa ia masih perlu mensomir pemilik agar menyiapkan rumah sewanya ? Kiranya patut, kalau dengan lewatnya hari penyerahan yang disepakati, pemilik sudah berada dalam keadaan lalai. Dengan perkataan lalai, dalam peristiwa seperti itu, ketetapan waktu merupakan termijn batal. Bukankah ketentuan waktu disini harus ditafsirkan untuk keuntungannya penyewa? Dengan pendapat seperti itu kita tidak sendirian, sebab HR juga pernah mengemukakan pendapatnya seperti itu (HR 30 April 1915, NJ. 1915, 915).

 

(bersambung)

 

Purwokerto, 17  Agustus  2010

--------

*) Penulis adalah pengamat hukum.

 

------------------------------------------

Catatan singkatan

Hof               =  Hooggerechthof = Pengadilan tingkat banding di Negeri Belanda

H.R.              =  Hoge Raad = Pengadilan Tertinggi di Belanda

                       W.P.N.R.     = Weekblad voor Privaatrecht, Notaris ambt en Registratie = Majalah hukum Privaat, Jabatan Notaris dan Pendaftaran

--------------------------------

 

HgH Batavia, 17  April   1930, dimuat  dalam T. 132 : 201.

HR, 30  April   1915, NJ. 1915, 915 

Hof Amsterdam, 7  April   1919, NJ. 1920, 145, dalam WPNR 2662, 1921        

HR, 11 Januari 1934, NJ. 1934, 310 ).

Tags: