Beda Pandangan ICW dan ex Hakim MK Soal Rangkap Jabatan Risma
Berita

Beda Pandangan ICW dan ex Hakim MK Soal Rangkap Jabatan Risma

Menurut ICW rangkap jabatan Risma melanggar UU tapi Palguna menganggap ini hanya kepatutan semata.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Tri Rismaharini. Foto: RES
Tri Rismaharini. Foto: RES

Presiden Joko Widodo telah melantik para menteri negara dan wakil menteri negara (wamen) yang akan membantunya dalam pemerintahannya bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada sisa masa jabatan periode tahun 2019–2024, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/12).

Pelantikan ini berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 133/P Tahun 2020 tentang Pengisian dan Penggantian Beberapa Menteri Negara Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2019-2024 yang dibacakan oleh Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara Setya Utama yang ditetapkan pada tanggal 23 Desember 2020.

Salah satu menteri yang dilantik adalah Tri Risma Harini sebagai Menteri Sosial menggantikan Juliari Batubara yang terjerat kasus korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, pengangkatan Risma memiliki problematika tersendiri. Sebab, di waktu yang sama, ia diketahui masih menjabat sebagai Walikota Surabaya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah menganggap dengan pelantikan Risma ini praktik rangkap jabatan kembali terlihat oleh publik. Rangkap jabatan juga diakui oleh Risma telah mendapat izin Presiden. Dan menurut Wana, melalui pengakuan tersebut terlihat inkompetensi dan tidak berpegangnya dua pejabat publik pada prinsip etika publik, yang pertama adalah Risma sendiri, kedua adalah Presiden RI Joko Widodo.

“Pejabat publik semestinya memiliki kemampuan untuk memahami peraturan dan berorientasi pada kepentingan publik. Terlebih lagi jika pejabat itu sekelas Presiden dan Walikota dengan prestasi yang disebut-sebut mentereng. Sedikitnya terdapat dua undang-undang yang dilanggar dengan rangkap jabatannya Risma,” kata Wana dalam keterangan tertulisnya.

Pertama, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 76 huruf h UU Pemerintahan Daerah secara tegas memuat larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk melakukan rangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya. Kedua, UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 23 huruf a UU Kementerian Negara mengatur bahwa Menteri dilarang merangkap jabatan pejabat negara lainnya. Merujuk pada regulasi lain, yakni Pasal 122 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Menteri dan Walikota disebut sebagai pejabat negara.

“Ini menunjukkan bahwa baik dalam kapasitasnya sebagai Walikota atau Menteri, posisi Risma bertentangan dengan dua UU tersebut,” terangnya.

Tags:

Berita Terkait