Begini Gambaran Umum Pelaksanaan OSS Berbasis Risiko
Utama

Begini Gambaran Umum Pelaksanaan OSS Berbasis Risiko

Sistem OSS dibagi ke dalam tiga subsistem yaitu subsistem pelayanan informasi, subsistem perizinan berusaha, dan subsistem pengawasan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Webinar Hukumonline 2021 bertema Memahami Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Berdasarkan Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja, Kamis (25/3). Foto: HOL.
Webinar Hukumonline 2021 bertema Memahami Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Berdasarkan Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja, Kamis (25/3). Foto: HOL.

Kehadiran UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah merubah rezim perizinan di Indonesia menjadi berbasis risiko. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (7) UU Cipta Kerja, perizinan Berusaha berbasis risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha. Tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha ditetapkan menjadi kegiatan usaha berisiko rendah; kegiatan usaha berisiko menengah; atau kegiatan usaha berisiko tinggi.

Perubahan rezim perizinan menjadi berbasis risiko ini sekaligus merubah proses perizinan di Online Single Submission (OSS). Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Riyatno, mengatakan wajah baru OSS baru bisa digunakan secara efektif pada awal Juni mendatang.

“Saat ini BKPM sedang membangun sistem OSS berbasis risiko sesuai ketentuan peralihan atau dalam PP No.5 Tahun 2021. Sistem OSS berbasis risiko akan efektif berlaku 4 bulan setelah dundangkan, jadi Insha Allah tanggal 3 Juni akan diberlakukan secara efektif”, kata Riyatno dalam Webinar Hukumonline 2021 yang bertajuk “Memahami Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Berdasarkan Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja”, Kamis (25/3).

Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (P2B2R) diatur dalam PP No.5 Tahun 2021 tentang P2B2R. Riyatno menyebutkan setidaknya terdapat tiga sistem terkait P2B2R di dalam PP 5/2021 tersebut. Pertama terkait NSPK Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dalam OSS yang merupakan acuan tunggal bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pelaku Usaha (Pasal 21 ayat (2).

Kedua, sistem OSS wajib digunakan oleh K/L, Pemda, Administrator KEK, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) serta Pelaku Usaha. Proses perizinan berusaha dilakukan dalam Sistem OSS yang disediakan oleh BKPM. (Baca: Reformasi Perizinan Usaha Jadi Inti Pelaksanaan UU Cipta Kerja)

Ketiga, sistem OSS dibagi ke dalam 3 subsistem, yaitu: subsistem pelayanan informasi; subsistem perizinan berusaha; dan subsistem pengawasan (Pasal 167). Dan keempat adanya pengawasan secara terintegrasi dan terkoordinasi K/L, Pemda, KEK, KPBPB melalui Sistem OSS (Pasal 211 ayat (1) dan Pasal 215 ayat (1).

Bagaimana 3 subsistem OSS bekerja dalam perizinan berusaha berbasis risiko? Dalam subsistem pelayanan informasi, terdapat sembilan hal pokok terkait informasi yakni informasi persyaratan Perizinan Berusaha (NIB, Sertifikat Standar, Izin), informasi tahapan proses, informasi KBLI berbasis risiko, informasi bidang usaha penanaman modal, informasi lokasi usaha, fasilitas berusaha, mekanisme pengawasan, kewajiban pelaporan, dan layanan pengaduan.

Kemudian dalam subsistem perizinan berusaha terdapat lima hal pokok yakni penerbitan Perizinan Berusaha (NIB, Sertifikat Standar, izin), tingkat Risiko,  konfirmasi/persetujuan tata Ruang, persetujuan lingkungan (SPPL, UKL/UPL, atau Amdal), dan sertifikat produk.

Lalu untuk subsistem pengawasan, terdapat pengawasan rutin, pengawasan insidentil, adanya jadwal pengawasan tahunan, surat tugas, laporan hasil pengawasan/BAP, profil pelaku usaha, dan pengenaan sanksi.

Dengan adanya tiga subsistem tersebut, maka pelaksanaan OSS sebelum dan sesudah UU Ciptaker mengalami perubahan yang cukup signifikan, di mana pada OSS sebelum UU Ciptaker sistem OSS hanya digunakan untuk pengurusan perizinan berusaha (Pasal 91 ayat (1) PP 24/2018), perizinan tersebar di berbagai portal dan tidak terkoordinasi, NSPK Perizinan Berusaha tersebar dan diatur oleh masing-masing K/L dalam peraturan menteri/peraturan badan yang seringkali tumpang tindih.

Kemudian, persyaratan investasi pada bidang usaha diatur pada berbagai aturan yang berbeda di masing-masing sektor, tidak terdapat pengaturan percepatan penerbitan izin bagi PSN maupun kegiatan usaha yang berlokasi di KEK, KI, dan KPBPB, dan pengawasan Perizinan dilakukan oleh masing-masing K/L dan Pemda tanpa ada koordinasi yang jelas dalam pelaksanaannya.

Sementara dalam sistem OSS pasca UU Ciptaker, selain pengurusan perizinan berusaha, sistem OSS juga digunakan untuk sistem pengawasan (Pasal 167 ayat (2) PP 5/2021), seluruh Perizinan Berusaha wajib dilakukan melalui Sistem OSS (Pasal 167 ayat (3) PP 5/2021), NSPK Perizinan Berusaha hanya diatur dalam satu peraturan (PP 5/2021) (Pasal 6 ayat (5) PP 5/2021).

Kemudian, persyaratan investasi diatur dalam UU Cipta Kerja dan Perpres 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, terdapat percepatan penerbitan izin bagi PSN maupun kegiatan usaha yang berlokasi di KEK, KI dan KPBPB (Pasal 208 PP 5/2021), Pengawasan Perizinan dilakukan oleh masing-masing K/L dan Pemda yang dikoordinasikan oleh BKPM untuk pengawasan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan DPMPTSP untuk pengawasan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah (Pasal 216 PP 5/2021).

Di sisi lain, peraturan pelaksana UU Ciptaker juga memberikan perlindungan dan pemberdayaan bagi UMKM dan koperasi. Dimana NIB bagi UMK dengan kegiatan usaha risiko rendah berlaku sebagai izin berusaha, SNI, dan pernyataan jaminan halal (PP 5/2021 Pasal 12 ayat (2), dan UMK diberikan kemudahan perizinan berusaha melalui perizinan tunggal (PP 5/2021 Pasal 209).

Selain itu pelaksanaan pengawasan dikoordinasikan oleh BKPM (PP 5/2021 Pasal 216) dengan kemudahan pengawasan berupa usaha mikro tidak diwajibkan menyampaikan LKPM; dan usaha kecil menyampaikan LKPM setiap 6 bulan dalam 1 tahun (PP 5/2021 Pasal 227 ayat (2) huruf a). Serta adanya pengawasan rutin untuk pelaku UMK dilakukan melalui pembinaan, pendampingan, atau penyuluhan terkait kegiatan usaha (PP 5/2021 Pasal 227 ayat (2) huruf b).

Sementara itu, Partner AKSET Alfa Dewi Setiawati menjelaskan bahwa dalam perizinan berusaha berbasis risiko terdapat empat tingkat risiko kegiatan berusaha yakni risiko rendah, risiko menengah, risiko menengah tinggi dan risiko tinggi. Dan untuk menentukan tingkat risiko tersebut, dilakukan analisis risiko dan penilaian tingkat bahaya.

Pelaksanaan analisis risiko dilakukan dengan mengidentifikasi kegiatan usaha, penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya, penetapan tingkat risiko dan skala usaha, serta penetapan jenis perizinan berusaha. Sementara penilaian tingkat bahaya adalah potensi bahaya untuk kesehatan, keselamatan, lingkungan, pemanfaatan SDA dan/atau bahaya lainnya. Penilaian tingkat bahaya memperhitungkan jenis, kriteria, dan lokasi kegiatan usaha, serta keterbatasan sumber daya, dan/atau risiko volatilitas.

Dengan penerapan rezim perizinan yang berbeda, Dewi menilai pemerintah harus melakukan pembicaraan dan komunikasi dengan pihak pelaku usaha. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar tentang perizinan berbasis risiko.

“UU Ciptaker mengatur perizinan berusaha berbasis risiko. Dalam hal ini pemerintah tentunya harus berbicara dengan pelaku usaha terkait perizinan ini,” katanya pada acara yang sama.

Partner AKSET Inka Kirana menambahkan bahwa terdapat beberapa potensial isu dalam perizinan berbasis risiko. Misalnya, bagaimana jika kegiatan usaha tidak tercakup dalam Lampiran I PP 5/2021. Apakah pelaku usaha harus menunggu evaluasi dan reformasi kebijakan oleh kementerian/lembaga terkait. Dan bagaimana seandainya terjadi penurunan skala usaha yang mengakibatkan penurunan tingkat risiko.

Namun demikian untuk memitigasi risiko, Inka menilai diperlukan sosialisasi lebih lanjut atas implementasi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko untuk pelaku usaha. Pelaku usaha perlu melakukan analisis lebih lanjut pada kegiatan usaha beserta persyaratan dan kewajiban berdasarkan PP 5/2021 dan peraturan terkait sebelum melakukan pengajuan perizinan berusaha di OSS. Dan melakukan konsultasi dengan lembaga pemerintah terkait, terutama BKPM sebagai Lembaga OSS.

 

Tags:

Berita Terkait