Begini Masukan KAI ISL terhadap RUU Hukum Acara Perdata
Utama

Begini Masukan KAI ISL terhadap RUU Hukum Acara Perdata

Seperti mengadopsi penerapan small claim court, gugatan class action, permohonan pelaksanan eksekusi putusan berkekuatan hukum tetap, hingga batasan pengajuan peninjauan kembali.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ketua Dewan Penasihat KAI ISL, Muhammad Rusdi Taher saat rapat dengar pendapat umum di Komplek Gedung DPR, Senin (13/6/2022). Foto: RFQ
Ketua Dewan Penasihat KAI ISL, Muhammad Rusdi Taher saat rapat dengar pendapat umum di Komplek Gedung DPR, Senin (13/6/2022). Foto: RFQ

Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Perdata Komisi III DPR terus menjaring masukan dari berbagai para pemangku kepentingan, salah satunya beberapa organisasi advokat. Kini, giliran Kongres Advokat Indonesia (KAI) pimpinan Indra Sahnun Lubis (ISL) menyampaikan sejumlah masukan dalam rangka pengayaan dan penyempurnaan dalam penyusunan draf RUU Hukum Acara Perdata.

Ketua Dewan Penasihat KAI ISL, Muhammad Rusdi Taher mengatakan ada dua hal pokok yang menjadi pemikiran dalam penyempurnaan penyusunan draf RUU Hukum Acara Perdata. Pertama, persoalan pokok dalam praktik hukum acara perdata soal lamanya proses penyelesaian perkara. Sejak tahap pendaftaran perkara, proses berperkara, putusan, hingga pelaksanaan eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Lambatnya proses penyelesaian berperkara yang terjadi selama ini berujung merugikan para pencari keadilan, khususnya bagi kalangan dunia bisnis. Dia menyarankan agar mengadopsi mekanisme peradilan yang sederhana seperti yang terjadi banyak negara maju. “Menerapkan apa yang disebut dengan small claim court atau gugatan sederhana. Ini banyak sekali sudah diterapkan di Amerika dan negara-negara Eropa. Barangkali Komisi III bisa studi banding ke beberapa negara,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum di Komplek Gedung DPR, Senin (13/6/2022) kemarin.

Baca Juga:

Menurutnya, banyak perkara kecil yang semestinya tak perlu melalui proses peradilan yang terjadi saat ini. Hal ini terjadinya tumpukan perkara di pengadilan tingkat pertama, banding, dan Mahkamah Agung (MA) dan proses penanganan menjadi lebih lama karena perkara kecil menggunakan prosedur penanganan perkara biasa.

“Penerapan small claim court, perkara yang pembuktiannya cenderung mudah dan nilai gugatannya rendah. Dengan hakim pemeriksa tunggal, jangka waktu satu bulan rampung. Nah, usulan tersebut diharapkan dapat masuk dalam draf RUU Hukum Acara Perdata. Jadi perlu ada peradilan sederhana, tidak perlu banding dan kasasi agar penyelesaiannya cepat,” kata dia.  

Kedua, perlu mengadopsi gugatan class action yang biasanya diajukan banyak korban dari masyarakat yang dirugikan. Selama ini pengaturan gugatan class action belum diatur dalam hukum acara perdata peninggalan kolonial Belanda. Diharapkan dengan adanya pengaturan class action dalam hukum acara perdata penyelesaian perkara lebih efisien dan menghindari putusan berulang.

Tags:

Berita Terkait