Belajar Memberantas Korupsi dari Negara Tetangga
Berita

Belajar Memberantas Korupsi dari Negara Tetangga

KPK ingin belajar dari Malaysia, Brunei, dan Singapura, yang telah puluhan tahun memiliki badan anti korupsi.

Oleh:
Nay
Bacaan 2 Menit
Belajar Memberantas Korupsi dari Negara Tetangga
Hukumonline

 

Sejak awal, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrachman Ruki telah menyatakan yang terpenting dari forum tersebut adalah KPK ingin belajar dari pengalaman negara-negara tersebut.

 

"Karena kita tahu bahwa lembaga anti korupsi di Singapura telah berusia 50 tahun, sedang Malaysia 37 tahun. Kami ingin tahu apa yg mereka lakukan ketika mereka pertama kali berdiri sebagai badan anti korupsi," cetus Ruki.  

 

Political will

Datuk Seri Zulkipli Mat Noor, Ketua Pengarah Badan Pencegahan Rasuah (BPR) Malaysia kepada wartawan menyatakan bahwa strategi yang diterapkan oleh BPR adalah pencegahan korupsi yang dilakukan bersamaan dengan penindakan terhadap pelaku korupsi.

 

Namun, menurutnya yang terpenting adalah political will untuk memberantas korupsi. "Untuk memberantas korupsi harus ada strong political will dan kami bersyukur hal itu ada di Malaysia," kata Mat Noor.

 

Salah satu contoh keseriusan pemerintah Malaysia yang terbaru, imbuhnya,  adalah dicanangkannya Plan Integrity National (PIN). yaitu rencana untuk meningkatkan dan memantapkan integritas. Untuk melaksanakannya, dibentuk satu institusi khusus yaitu Institut Integriti Malaysia (IIM).

 

Menurut deputi Presiden IIM, Haji Mustafar Bin Haji Ali, ada beberapa hal yang menjadi sasaran PIN pada 2004-2008, yaitu  mengurangi gejala rasuah (suap), meningkatkan kecakapan birokrasi, memantapkan etika dalam komunitas bisnis, memantapkan institusi keluarga, dan meningkatkan kesejahteraan masyakat.

 

Dalam kesempatan itu, Mat Noor juga menyatakan bahwa jumlah kasus korupsi di Malaysia relatif rendah. Namun, ia menolak menyebutkan jumlah kasus korupsi yang ditangani oleh BPR. "Saya tidak mau berbicara tentang kasus," tukasnya.

 

Sementara itu, Anti Corruption Bureau of Brunei Darussalam telah berdiri sejak 1982. Lembaga ini telah berdiri sebelum Brunei dinyatakan merdeka. Menurut ketua lembaga ini, dalam satu tahun lembaganya menerima 200 pengaduan lebih. Namun, hanya sepertiganya saja yang ternyata mempunya unsur korupsi.

 

Selain itu, karena banyak kasus yang tidak cukup bukti untuk dibawa ke pengadilan, maka dalam satu tahun kasus yang masuk ke pengadilan hanya sekitar 11 atau 12 kasus.

 

Niat KPK untuk belajar dari lembaga-lembaga tersebut, tampaknya dapat terwujud jika melihat isi nota kesepahaman yang ditandatangani lembaga anti korupsi di empat negara itu.

 

Dalam nota kesepahaman itu, disebutkan bahwa kerjasama antar lembaga dapat berupa pelatihan, kursus, pertukaran ahli dan SDM dalam bidang-bidang seperti akuntansi forensik, komputer forensik, teknik forensik, polygraph dan analisa suara.

 

Selain itu kerjasama juga dimaksudkan untuk tukar-menukar informasi dalam berbagai hal, antara lain informasi mengenai metodologi dan modus operandi, maupun informasi data intelijen yang relevan.

  

Lepas dari hal diatas, seperti disebutkan oleh Ketua BPR Malaysia, kemauan memberantas korupsi tentu menjadi poin nomor wahid. Mengutip komentar Mat Noor, "tanpa political will, apalah jadinya".

Dalam acara Sub Regional Forum On Anti Corruption yang berlangsung pada 14-15 Desember lalu di Jakarta, Direktur Penuntut Umum New South Wales, Australia, Nicholas Cowdery, menjadi salah satu pembicara. Ia membagi pengalaman negaranya dalam memerangi korupsi.

 

Dalam ceramahnya, Cowdery menyatakan bahwa Australia termasuk negara yang relatif bebas dari korupsi. Dalam peringkat negara anti korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency International (TI) pada 2004, Australia menduduki peringkat sembilan. Turun satu peringkat dari tahun sebelumnya.

 

Tidak jauh terpaut angka dari Australia, Indonesia tahun ini berada di peringkat kelima dari survey yang dilakukan TI. Bedanya, kalau Australia ada di peringkat sembilan kategori negara yang paling transparan, sementara Indonesia berada dalam peringkat kelima negara terkorup.

 

Sebuah cerita menarik disampaikan oleh Cowdery. Syahdan, ada seorang hakim di Australia, sebut saja A yang bertemu dengan hakim lain yang berwenang untuk memilih hakim tingkat pengadilan tinggi. Dalam pertemuan itu, sang hakim menyebutkan seorang koleganya, sebut saja B. Ia menanyakan, bagaimana dengan si B, apakah ada yang bisa dilakukan terhadapnya. Akibat dari pembicaraan tersebut, hakim A langsung dituntut dengan tuduhan suap. Padahal, tidak ada tawaran uang yang muncul dalam pembicaraan tersebut, apalagi pemberian uang. Yang ada hanya pembicaraan biasa. 

 

Selain menghadirkan pembicara dari Australia, Sub Regional Forum On Anti Corruption ini  diikuti oleh lembaga anti korupsi dari empat negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Sebuah nota kesepahaman berhasil ditelorkan dari forum tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: