Pemerintah dan DPR masih membahas RUU Cipta Kerja meskipun RUU ini menuai kontroversi di masyarakat. Pembahasan didasarkan pada daftar inventarisasi masalah (DIM) dan klaster dalam RUU Cipta Kerja yang diarahkan pada kemudahan berusaha melalui penyederhanaan perizinan demi meningkatkan investasi. Salah satu dari beberapa klaster yang dibahas yakni Kemudahan dan Perlindungan UMKM.
Anggota Badan Legislasi DPR Ledia Hanifa Amaliah mengatakan RUU Cipta Kerja, UMKM masuk dalam BAB V, dan terkait dengan BAB III yakni tentang perizinan dan pemerintah daerah. Pemerintah dan DPR sepakat memberi kemudahan berusaha bagi UMKM. Pendekatan untuk UMKM sifatnya berkelanjutan, sehingga diharapkan UMKM mampu berkembang. Menurutnya, pemerintah daerah berperan penting untuk menata dan memfasilitasi UMKM.
“Pemerintah pusat jangan terlalu mengurusi UMKM, karena jumlahnya banyak sekitar 65 juta UMKM, sehingga kebijakannya nanti tidak realistis, lebih baik ditangani pemda,” kata Ledia dalam diskusi secara daring bertema “RUU Cipta Kerja dan Masalah Perlindungan Bagi UMKM”, Senin (29/6/2020). (Baca Juga: Baleg Bakal Rampungkan DIM Klaster UMKM RUU Cipta Kerja)
Ledia mengingatkan bisnis UMKM sifatnya dinamis, sehingga perlu data yang terus diperbarui karena nanti akan berkaitan dengan kebijakan yang akan dikeluarkan seperti pendampingan dan bantuan hukum. Dia berharap ketentuan tentang UMKM dibahas tuntas dalam RUU Cipta Kerja. “Jangan melulu diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana (PP). Praktiknya selama ini butuh waktu tahunan untuk menerbitkan satu peraturan pelaksana,” ujarnya.
Direktur Kemitraan dan Kerjasama PSHK Muhammad Faiz Aziz mencatat sedikitnya 6 masalah UMKM yang perlu diperhatikan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Pertama, akses keuangan. UMKM sangat memerlukan pembiayaan, tapi bank punya kebijakan sebelum mengucurkan pinjaman, misalnya agunan. Kedua, perizinan, karena ada banyak jenis perizinan jika UMKM mau mengajukan perizinan seperti SIUP dan TDP. Pelaku usaha UMKM akan dihadapi dengan proses yang tidak mudah dan membutuhkan waktu.
Ketiga, perpajakan. Keempat, kurangnya inovasi. Kelima, rendahnya literasi teknologi. Keenam, kemitraan yang tidak seimbang, dan praktiknya seringkali UMKM kalah saat berhadapan dengan pengusaha besar. “RUU Cipta Kerja perlu mengatur agar mekanisme kemitraan UMKM ini berimbang,” usulnya.
Direktur Eksekutif AKATIGA Nurul Widyaningrum mencatat UMKM menyerap lebih dari 90 persen tenaga kerja di Indonesia. Sebagian besar UMKM masuk kategotri sektor informal karena beberapa sebab antara lain proses perizinan rumit, sehingga UMKM lebih memilih tidak mengurus perizinan.