Bertentangan dengan UU Pemilu, MA Batalkan 2 Ketentuan Peraturan KPU
Terbaru

Bertentangan dengan UU Pemilu, MA Batalkan 2 Ketentuan Peraturan KPU

Memerintahkan Ketua KPU RI untuk mencabut pasal 11 ayat (6) Peraturan KPU RI No.10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dan pasal 18 ayat (2) Peraturan KPU No.11 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU No.10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD dan seluruh pedoman teknis dan pelaksanaan masing-masing pasal tersebut.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Mahkamah Agung (MA). Foto: RES
Mahkamah Agung (MA). Foto: RES

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Perludem, Saut Situmorang dan Abraham Samad sedikit bernafas lega karena majelis hakim Mahkamah Agung (MA) mengabulkan seluruh permohonan keberatan hak uji materiil yang mereka ajukan dalam perkara No.28 P/HUM/2023. Ada 2 ketentuan yang menjadi objek permohonan uji materiil dalam perkara itu. Pertama, pasal 11 ayat (6) Peraturan KPU RI No.10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Kedua, pasal 18 ayat (2) Peraturan KPU No.11 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU No.10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD. Koalisi sebagai pihak pemohon menilai kedua ketentuan itu memberikan kelonggaran syarat pencalonan bagi mantan terpidana (yang diancam pidana 5 tahun atau lebih) dari yang seharuusnya diatur dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu juncto putusan MK No.87/PUU-XX/2022 juncto No.12/PUU-XXI/2023.

Baik pasal 11 ayat (6) Peraturan KPU 10/2023 dan pasal 18 ayat (2) Peraturan KPU 11/2023 dan pasal mengatur pengecualian bagi mantan narapidana yang memperoleh pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. Sehingga mantan narapidana itu tidak perlu lagi melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Baca Juga:

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis menilai kedua ketentuan Peraturan KPU yang jadi objek permohonan itu menunjukkan kurangnya komitmen KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk ikut serta menjamin pemilu legislatif dalam mendapatkan wakil rakyat yang berintegritas tinggi. Padahal, untuk memperoleh wakil rakyat yang berintegritas diperlukan syarat-syarat ketat terhadap proses pencalonan.

“Sehingga warga negara yang mempunyai hak pilih disediakan calon-calon yang berintegritas tinggi untuk dipilih oleh Partai Politik (Parpol) peserta Pemilu dan KPU sebagai penyelenggara,” begitu kutipan sebagian pertimbangan putusan yang diputuskan dalam musyawarah majelis dan diucapkan, Jumat (29/9).

Dalam aspek sosiologis majelis menilai antara lain kesadaran bersama mengingatkan bahwa Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga harus ditangani secara komprehensif, salah satunya melalui pengaturan persyaratan calon yang akan mengikuti kontestasi pada Pemilu. Tanpa pengaturan persyaratan yang ketat masyarakat akan menanggung akibatnya yaitu proses pembangunan yang terhambat dan tidak tepat sasaran, mempengaruhi kebijakan publik dan produk legislasi yang koruptif.

Tags:

Berita Terkait