Berubah Setelah Persetujuan Bersama, Nasib UU Cipta Kerja di Ujung Tanduk?
Utama

Berubah Setelah Persetujuan Bersama, Nasib UU Cipta Kerja di Ujung Tanduk?

Presiden diminta menerbitkan Perppu pembatalan UU Cipta Kerja karena Pasal 72 UU No. 12/2011 hanya membolehkan perubahan teknis penulisan setelah persetujuan bersama. Jika tidak, MK seharusnya berani membatalkan UU Cipta Kerja ini karena dinilai melanggar prosedur pembentukan UU atau cacat formil.

Agus Sahbani
Bacaan 9 Menit

Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI) Mustafa Fakhri menilai proses persetujuan bersama UU Cipta Kerja ini sangat kontroversial. Mulai rapat paripurna dimajukan pada 5 Oktober 2020, padahal sudah dijadwalkan pada 8 Oktober, ada sebagian besar anggota DPR tidak memegang naskah final RUU Cipta Kerja, hingga beredarnya beberapa versi naskah UU Cipta Kerja setelah persetujuan bersama dalam rapat paripurna 5 Oktober 2020. Setidaknya, ada beberapa versi naskah draf UU Cipta Kerja yakni versi 1.028, 905, 1.052, 1.035, dan 812 halaman.

Menurut penuturan Aziz Syamsudin (Wakil Ketua DPR RI), draft final yang dikirim ke Presiden versi 812 halaman, termasuk penjelasan batang tubuhnya. Berdasarkan hasil penelusuran PSHTN FHUI, jika dibandingkan antara naskah RUU versi 812 halaman (filenya berjudul "ruu-cipta-kerja-12-oktober-2020-final") dengan versi 1.035 halaman (filenya berjudul "RUU Cipta Kerja - KIRIM KE PRESIDEN") terdapat beberapa penambahan substansi baru  yakni  di  antara  Bab VIA,  Bab VI,  dan  Bab VII. Bab ini mengatur tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi.

“Jika benar ini yang terjadi, maka ini sudah luar biasa pelanggarannya. Bahkan, perubahan titik koma saja sudah bisa mengubah makna dari suatu norma dalam UU. Apalagi, penambahan beberapa norma baru setelah sidang paripurna pengesahan bersama,” bebernya. (Baca Juga: Proses Legislasi Ugal-Ugalan, UU Cipta Kerja Dipersoalkan ke MK)

Atas dasar itu, PSHTN FHUI mendesak Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu untuk mencabut UU Cipta Kerja, segera setelah RUU tersebut resmi menjadi UU. Seraya memastikan agar partai koalisi pendukung pemerintah yang ada di DPR untuk tidak lagi melakukan proses legislasi yang ugal-ugalan macam saat ini, dan di masa yang akan datang.

Bila Presiden enggan menerbitkan Perppu pencabutan UU Cipta Kerja, PSHTN FHUI menyerukan kepada warga masyarakat untuk bersiap-siap menempuh jalur konstitusional dengan menjadi pemohon dalam pengujian formil dan materil terhadap UU Cipta Kerja ke MK.

Untuk diketahui, sesuai Pasal 57 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 36 huruf c Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, jika uji formil dikabulkan, UU Cipta Kerja bisa kehilangan kekuatan hukum mengikat secara umum. 

Persoalannya, hingga saat ini, belum sekali pun MK mengabulkan uji formil atas suatu UU. Kode Inisiatif pernah mencatat ada sebanyak 48 putusan pengujian UU secara formil sejak tahun 2003 hingga saat ini. Dari keseluruhan putusan itu, belum ada pengujian formil yang dikabulkan MK. Tapi, MK pernah membatalkan UU secara keseluruhan. Seperti, putusan MK No. 85/PUU-XII/2013 tentang Pengujian UU Sumber Daya Air; Putusan MK No. 28/PUU-XI/2013 tentang UU Koperasi.

Dapatkan artikel bernas yang disajikan secara mendalam dan komprehensif mengenai putusan pengadilan penting, problematika isu dan tren hukum ekslusif yang berdampak pada perkembangan hukum dan bisnis, tanpa gangguan iklan hanya di Premium Stories. Klik di sini!

Tags:

Berita Terkait