BKN Temukan Beragam Jenis Pelanggaran Rekrutmen CPNS 2019
Berita

BKN Temukan Beragam Jenis Pelanggaran Rekrutmen CPNS 2019

LBH Jakarta meminta Presiden menghapus persyaratan CPNS yang bersifat diskriminatif di sejumlah instansi.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
BKN Temukan Beragam Jenis Pelanggaran Rekrutmen CPNS 2019
Hukumonline

Sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah pusat dan daerah telah membuka rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) tahun 2019. Dalam proses pengadaan CPNS ini, BKN menemukan sejumlah pelanggaran. Deputi BKN Bidang Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) Otok Kuswandaru menegaskan proses perencanaan sampai pengumuman CPNS tidak boleh menyimpang dari norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) kepegawaian.

 

Otok menjelaskan ketentuan rekrutmen CPNS telah diatur dalam berbagai peraturan seperti UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Regulasi itu mengatur antara lain panitia seleksi instansi pengadaan PNS mengumumkan lowongan jabatan secara terbuka kepada masyarakat. Pengumuman itu dilaksanakan paling singkat 15 hari kalender. Tapi, temuan BKN menunjukan masih ada instansi yang belum mematuhi ketentuan tersebut.

 

“Salah satunya soal pendaftaran instansi kurang dari 15 hari kalender. BKN telah meminta agar instansi merevisi jadwal penutupan pendaftarannya dan mengumumkan kepada pelamar,” kata Otok sebagaimana dikutip laman resmi bkn.go.id, Rabu (27/11/2019). Baca Juga: Minimalisir Masalah, Tim Pengawas Penerimaan CPNS Dibentuk

 

Dia melanjutkan Kedeputian Wasdal BKN akan mengawasi seluruh proses pengadaan CPNS dari aspek perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, pengangkatan CPNS, masa percobaan CPNS, sampai dengan pengangkatan menjadi PNS. Temuan pelanggaran terhadap proses rekrutmen ini merupakan bentuk preventif BKN terhadap pelaksanaan CPNS yang tidak sesuai dengan sistem merit.

 

PP No.11 Tahun 2017 mengatur sistem merit yakni kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.

 

BKN selanjutnya mewajibkan masing-masing instansi menyiapkan berita acara hasil verifikasi administrasi pelamar. Hal ini untuk memastikan proses seleksi administrasi yang dilakukan sudah sesuai dengan persyaratan/kualifikasi formasi yang diumumkan. Langkah ini akan membantu instansi dalam masa sanggah yaitu untuk mempermudah instansi memberikan penjelasan alasan ketidaklulusan administrasi secara lengkap.

 

Berikut 11 jenis pelanggaran proses pengadaan CPNS temuan BKN:

No

Jenis Pelanggaran

Jumlah Instansi

Regulasi

1

Batas waktu pengumuman pendaftaran instansi kurang dari 15 hari kalender

19 Instansi Daerah

Pasal 22 ayat (2) PP 11/2017

2

Jumlah, kualifikasi pendidikan, dan unit kerja penempatan tidak sama dengan persetujuan MenPANRB

3 Instansi Pusat, 8 Instansi Daerah

Pasal 22 ayat (3) PP 11/2017 dan Huruf G angka 3 Permenpan 23/2019

3

Pembatasan usia pelamar yang tidak sesuai dengan NSPK

18 Instansi Pusat, 3 Instansi Daerah

Pasal 23 ayat (1) PP 11/2017

4

Perbedaan syarat minimal IPK bagi putra-putri daerah dan nonputra-putri daerah yang bersangkutan

4 Instansi Pusat, 77 Instansi Daerah

Pasal 22 ayat (3) PP 11/2017

5

Tidak ada alokasi formasi disabilitas bagi instansi pusat dan daerah

2 Instansi Pusat, 46 Instansi Daerah

Huruf G Permenpan 23/2019

6

Alokasi formasi disabilitas yang diberikan instansi kurang dari 2 persen

3 Instansi Pusat, 7 Instansi Daerah

Huruf G Permenpan 23/2019

7

Pemberian kekhususan persyaratan pelamar bagi pegawai kontrak di lingkungan internal instansi

1 Instansi Pusat, 5 Instansi Daerah

Pasal 22 ayat 3 PP 11/2017

8

Persyaratan kualifikasi pendidikan diaspora melanggar NSPK yaitu untuk jabatan Analis Kebijakan mencantumkan kualifikasi pendidikan S-1

1 Instansi Pusat

Pasal 22 ayat 3 PP 11/2017

9

Persyaratan akreditasi masih mencantumkan akreditasi minimal B dan/atau C

2 Instansi Pusat, 10 Instansi Daerah

Permenpan 23/2019

10

Membatasi domisili pelamar dalam wilayah kabupaten/provinsi tertentu

22 Instansi Daerah

Pasal 22 PP 11/2017

11

Mencantumkan persyaratan khusus untuk suatu jabatan agar melampirkan ijazah perguruan tertinggi tertentu

8 Instansi Daerah

Permenpan 23/2019

 

Persyaratan Diskriminatif

Sebelumnya LBH Jakarta mencatat ada persyaratan CPNS yang bersifat diskriminatif dan tidak peka terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Direktur LBH Jakarta Arif Maulana melihat di laman rekrutmen.kejaksaan.go.id ada persyaratan seperti tidak buta warna baik parsial maupun total, tidak cacat fisik, tidak cacat mental, termasuk kelainan orientasi seks dan kelainan perilaku (transgender).

 

“Persyaratan ini secara eksplisit mendiskriminasi kelompok minoritas seksual, transgender, dan disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan lewat seleksi CPNS,” kata Arif ketika dikonfirmasi, Kamis (28/11/2019).

 

Melihat pemberitaan sejumlah media, Arif menilai Jaksa Agung menyatakan pihaknya menolak LGBT agar tidak masuk Kejaksaan RI dengan dalih hanya menerima “yang norma-normal, wajar-wajar saja, dan tidak mau aneh-aneh.” Bagi Arif pernyataan itu sangat menyakitkan bagi kelompok minoritas rentan yang selama ini mengalami diskriminasi.

 

Begitu pula persyaratan CPNS Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana tercantum di laman kepri.kemenag.go.id dan cpns.kemdukbud.go.id yang memuat syarat yakni “tidak boleh terafiliasi dengan ideologi yang bertengangan dengan Pancasila.” Persyaratan ini bernuansa stigma negatif dan mendiskriminasi, sekaligus melanggar kebebasan berpikir dan berkeyakinan yang dijamin konstitusi.

 

Arif menyayangkan sikap Kementerian PANRB yang tidak merespon berbagai persyaratan diskriminatif tersebut. Kementerian PANRB selaku koordinator proses seleksi CPNS seharusnya melakukan tindakan tegas terkait kebijakan seleksi CPNS yang diskriminatif. “Ini menunjukan ada pembiaran terhadap praktik diskriminasi oleh lembaga negara, khususnya yang memiliki identitas gender, seksual, fisik, dan ideologi berbeda,” ungkapnya.

 

Menurut Arif, praktik diskriminasi yang terstruktur dan sistematis dalam seleksi CPNS 2019 di sejumlah instansi itu bertentangan dengan pasal 28I UUD Tahun 1945 yang menegaskan setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Terkait hak atas pekerjaan, seleksi CPNS di sejumlah lembaga tersebut bertentangan dengan hak atas pekerjaan sebagaimana diatur kovenan Ekosob dan prinsip manajemen ASN yang nondiskriminatif.

 

Sebagai kebijakan administrasi pemerintahan, Arif menilai praktik diskriminasi dalam proses rekrutmen CPNS bertentangan dengan prinsip asas-asas umum pemerintahan yang baik seperti mandat Pasal 10 UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Salah satu asas yang penting diperhatikan yakni ketidakberpihakan dalam membuat kebijakan administrasi pemerintahan.

 

“Ini adalah asas yang mewajibkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif,” papar Arif.

 

Adanya praktif diskriminatif itu, menurut Arif menyebabkan kelompok minoritas gender, seksual, dan disabilitas mengalami kesulitan mengakses dan memilih pekerjaan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28E UUD Tahun 1945 dimana setiap warga negara berhak memilih pekerjaannya.

 

Karena itu, LBH Jakarta menuntut 3 hal. Pertama, meminta Presiden Jokowi untuk memerintahkan Kejaksaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menghapus persyaratan CPNS yang diskriminatif di masing-masing instansi. Kedua, kejaksaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menghapus ketentuan persyaratan seleksi CPNS yang diskriminatif. Serta membuat kerangka seleksi CPNS yang mengakomodasi dan ramah terhadap kelompok minoritas dan rentan.

 

Ketiga, pemerintah baik lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif perlu mendorong kebijakan dan produk hukum yang melindungi HAM. Serta melindungi hak konstitusional bagi kelompok minoritas rentan, termasuk minoritas identitas gender, seksual, dan disabilitas.

Tags:

Berita Terkait