Bolak-Balik Berkas Dinilai Langgar Hak Korban
Berita

Bolak-Balik Berkas Dinilai Langgar Hak Korban

Seharusnya Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM tidak perlu ada karena tugas mencari alat bukti dan tersangka adalah penyidik Kejagung.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Persoalan “bolak-balik” berkas penanganan pelanggaran HAM di masa lalu dianggap bukan hanya semata-mata problem teknis hukum, tetapi juga menyangkut perlindungan hak-hak dasar dan kebebasan individual yang telah dilanggar oleh negara. Karena itu, ketidakadilan dan bentuk diskriminasi bagi korban dan keluarga peristiwa pelanggaran HAM berat, sesungguhnya mengesampingkan prinsip perlindungan tersebut.

“Tepat kiranya ‘bolak-balik’ berkas itu bukan semata soal problem teknis proses hukum, melainkan telah berdampak pada pelanggaran HAM, termasuk melanggar hak-hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi,” ujar Dosen Hukum Tata Negara dan HAM dari FH Unair, Herlambang P Wiratraman, saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di ruang sidang MK, Selasa (01/9).

Herlambang mengatakan peristiwa “bolak-balik” tujuh berkas pelanggaran HAM berat yang terjadi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung sejak 2002 telah melanggar hak korban dan keluarganya mendapatkan kepastian hukum, keadilan, dan perlakuan diskriminasi sebagaimana dijamin konstitusi. Hal ini terjadi lantaran menyangkut penafsiran frasa “kurang lengkap” dalam Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM.

Menurut Herlambang, bolak-balik berkas dapat terjadi salah satunya selama ini Jaksa Agung belum memberi petunjuk teknis yang jelas atas kekurangan dari laporan penyelidikan Komnas HAM. Frasa “kurang lengkap” dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pengadilan HAM tidak pernah dipenuhi secara profesional oleh Jaksa Agung.

“Menurut hemat saya, petunjuk itu inkonsisten dan terlalu umum. Pantas saja Komnas HAM sudah merasa menjalankan tugasnya dan mempertanyakan kembali apa yang kurang lengkap,” sebutnya saat menjawab pertanyaan salah satu hakim MK.

Ahli berharap MK mampu memulihkan dan memperbaiki persoalan itu secara khusus dengan menafsirkan secara lebih protektif Pasal 20 ayat (3) berikut penjelasan UU Pengadilan HAM. Ia pun berharap MK bisa mempertimbangkan pemberian batasan maksimal atau batasan waktu terkait persoalan bolak-baliknya berkas tersebut. “Buat saya proses bolak-balik berkas antara Komnas HAM dan Kejagung itu tidak pantas,” kritik ahli yang sengaja dihadirkan para pemohon ini.

Dosen Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa mengatakan argumentasi hasil penyelidikan “kurang lengkap” selama ini selalu menjadi alasan. Degan dalih itu pula kasus-kasus pelanggaran HAM hingga saat ini sangat jarang diajukan ke pengadilan.

Menurut Eva rumusan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM tampak tidak konsisten apabila dibandingkan dengan Pasal 20 ayat (1) UU yang sama. Sebab, Komnas HAM sebagai penyelidik telah dibebani tugas menemukan bukti permulaan yang cukup. Karena itu, makna penilaian oleh penyidik (Kejagung) bahwa penyelidikan ‘kurang lengkap’ menjadi bias.

“Pasal 20 ayat (3) harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat (unconstitutional conditionally). MK harus membaca ulang Pasal 20 UU Pengadilan HAM. Seharusnya Pasal 20 ayat (3) menjadi tidak (perlu) ada karena tugas mencari alat bukti dan tersangka adalah penyidik Kejagung (bukan Komnas HAM, red),” katanya.

Lewat kuasa hukum dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS),  perwakilan keluarga korban pelanggaran HAM Tragedi 1998 yakni Paian Siahaan dan Ruyati Darwin mempersoalkan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM. Soalnya, proses penyelidikan Komnas HAM selalu bermasalah lantaran berkas dinilai kurang lengkap oleh Kejaksaan Agung.

Selain itu, frasa “kurang lengkap” ini disinyalir menjadi dalih penegak hukum untuk tidak memproses penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Pengalaman bolak-balik berkas antara Kejagung dan Komnas HAM mengakibatkan kerugian bagi keluarga para korban secara konstitusional dan hak mendapatkan keadilan.

Karena itu, pemohon minta MK menafsirkan frasa “kurang lengkap” lebih jelas yang bisa menjadi pegangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM masa lalu. Sehingga, drama bolak-balik berkas antara kedua lembaga negara itu tidak terjadi lagi.
Tags:

Berita Terkait