BPK Klaim Tak Ada Pejabat Aktif Rangkap Jabatan di BUMN/BUMD
Berita

BPK Klaim Tak Ada Pejabat Aktif Rangkap Jabatan di BUMN/BUMD

BPK memiliki kode etik terkait larangan rangkap jabatan di yayasan-yayasan atau badan usaha yang dibiayai oleh negara. Bila masyarakat mengetahui terdapat pejabat atau pegawai BPK melanggar kode etik, bisa mengadukan ke Majelis Kehormatan dan Kode Etik (MKKE).

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membantah ada pejabat negara dan pegawai yang berstatus aktif bekerja di lembaga audit keuangan negara itu merangkap jabatan sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

"BPK perlu menjelaskan terdapat pegawai berstatus pensiunan BPK dan pegawai berstatus dipekerjakan di kementerian yang menjabat komisaris BUMN saat ini," demikian pernyataan resmi Biro Humas dan Kerjasama Internasional BPK di Jakarta, seperti dikutip hukumonline, Rabu (1/7).

BPK mengimbau apabila masyarakat mengetahui terdapat pejabat atau pegawai lembaga negara ini melanggar kode etik, bisa mengadukan ke Majelis Kehormatan dan Kode Etik (MKKE). Laporan itu dapat disampaikan melalui menu whistle blowing system pada laman www.bpk.go.id atau kepada sekretariat MKKE melalui surat elektronik di [email protected].

BPK melarang rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN bagi pegawai BPK berstatus aktif yang diatur dalam Peraturan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik. Sebagai informasi, dalam peraturan itu Anggota BPK dilarang merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara yang lain dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara, swasta nasional atau asing, tidak termasuk organisasi nirlaba.

Anggota BPK dalam aturan itu adalah pejabat negara pada BPK yang dipilih DPR dengan pertimbangan DPD dan diresmikan dengan Keputusan Presiden. Selain Anggota BPK, peraturan Kode Etik itu juga mengatur bagi Pemeriksa yakni orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK.

Dalam peraturan kode etik itu tidak menyebutkan secara khusus larangan rangkap jabatan bagi pemeriksa. Namun, salah satu poin bagi pemeriksa adalah dilarang menjadi pengurus yayasan dan atau badan-badan usaha yang kegiatannya dibiayai anggaran negara.
(Baca: Menyoal Rangkap Jabatan Komisaris BUMN)

Sebelumnya, Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih pada Minggu (28/6) menyebutkan ada pejabat merangkap jabatan menjadi komisaris di sejumlah BUMN. Dari sejumlah pejabat lembaga negara, Ombudsman menyebut empat orang di antaranya diisi oleh pejabat BPK. Total terdapat 397 komisaris di BUMN dan 167 pada anak perusahaan yang merangkap jabatan.

Polemik rangkap jabatan ini dipicu oleh regulasi yang membuka peluang lebih longgar untuk pengabaian etika. Sebelumnya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS melarang PNS rangkap jabatan menjadi direksi dan komisaris perusahaan swasta.

PP tersebut diubah menjadi PP No.53/2010 tentang Disiplin PNS dan tidak ada lagi larangan merangkap jabatan menjadi komisaris, kecuali menjadi anggota Partai Politik. Logika yang berkembang kemudian adalah, jika menjadi komisaris perusahaan swasta tak dilarang, apa lagi menjadi komisaris BUMN maupun anak perusahaan.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Muhammad Faiz Aziz berpendapat bahwa rangkap jabatan di BUMN memang tidak diizinkan. Hal itu jelas diatur dalam Pasal 17 huruf A UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menyatakan, “Pelaksana dilarang: merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.”

“Pasal 17 huruf a itu jelas pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap jabatan. Larangannya sukup streak, dan ini absolut,” katanya kepada Hukumonline.

Namun, Aziz menjelaskan jika rangkap jabatan memang tidak diatur dalam UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) karena mengatur PT secara umum. Hanya saja hal itu berlaku selama tidak ada larangan pembatasan di UU lain. “Kalau ada yang melanggar, ya sanksinya pembebasan dari salah satu jabatan,” ujarnya.

Berbeda, Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga berpandangan bahwa posisi komisaris perusahaan negara yang diisi oleh sosok dari kementerian atau lembaga merupakan hal wajar.

"Kita kan tahu BUMN dimiliki pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang saham pasti menempatkan perwakilannya untuk menempati posisi komisaris di BUMN, maka wajar diambilnya dari kementerian-kementerian teknis yang memang paham masalah teknis di perusahaan itu," ujar Arya, seperti dilansir Antara, Minggu (28/6).

Menurut Arya, pemerintah sebagai pemegang saham BUMN berhak menempatkan orangnya dalam rangka mengawasi kinerja perusahaan. "Jadi sangat wajar kalau dari kementerian atau lembaga juga yang menempati posisi komisaris, yang mewakili kepentingan pemegang saham ya dari pemerintah. Itu logika umum, dimana-mana juga pastinya harus ada mewakili, kalau nggak siapa yang mewakili pemerintah dalam perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah itu kalau bukan dari unsur pemerintah," katanya.

Ia menyampaikan, larangan rangkap jabatan bagi PNS adalah larangan untuk menjabat satu jabatan strukrural dengan jabatan struktural lainnya dan/atau dengan jabatan fungsional dan pada Kementerian/Lembaga bukan jabatan di BUMN serta larangan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

"Sesuai regulasi maka Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas dan Direksi bukan termasuk jabatan yang masuk dalam kriteria jabatan struktural dan/atau jabatan fungsional dari Pegawai Negeri Sipil," paparnya.

Ia menambahkan terkait aspek benturan kepentingan dewan komisaris adalah yang dapat merugikan BUMN. Apabila perbedaan itu tidak menimbulkan kerugian pada BUMN maka bukan benturan kepentingan. Arya juga menjawab soal adanya rangkap penghasilan. Menurutnya, penghasilan yang diterima komisaris berbentuk honorarium dan bukan gaji.

"Kalau ada ASN yang ditugaskan untuk tugas-tugas tertentu maka ada tambahan honorarium bagi pejabat tersebut," katanya. 

Tags:

Berita Terkait