Buruh Tuntut Manfaat Jaminan Pensiun 75 Persen
Berita

Buruh Tuntut Manfaat Jaminan Pensiun 75 Persen

Dengan iuran 12-18 persen dari upah setiap bulan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Aksi buruh terkait BPJS Ketenagakerjaan. Foto: Sgp
Aksi buruh terkait BPJS Ketenagakerjaan. Foto: Sgp
Serikat Pekerja menuntut manfaat program Jaminan Pensiun (JP) yang bakal digelar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mencapai 75 persen dari upah terakhir. Tuntutan itu antara lain disampaikan Presiden KSPI, Said Iqbal. Ia mengatakan besaran manfaat itu perlu diterima buruh agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya ketika masuk masa pensiun.

"Kami menuntut agar manfaat jaminan pensiun yang nanti diterima buruh sekitar 65-75 persen dari upah terakhir," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (12/3).

Iqbal memperkirakan manfaat itu dapat terpenuhi jika besaran iuran yang dibayar setiap bulan sekitar 12-18 persen dari upah. Mekanisme pembayarannya dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, premi dibayar seluruhnya oleh pengusaha selaku pemberi kerja. Cara kedua, ada cost sharing. Jika iuran 15 persen maka pengusaha menanggung 12 persen dan sisanya dibayar pekerja.

Iqbal menjelaskan program JP yang diamanatkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) baru bisa berjalan jika pemerintah menerbitkan PP tentang JP. Ironisnya, sampai sekarang regulasi itu belum terbit. Padahal, UU BPJS mengamanatkan peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan, termasuk Jaminan Pensiun, harus terbit paling lambat dua tahun lalu.

Atas dasar itu KSPI mendesak pemerintah segera mengesahkan RPP JP. "Kami mendesak pemerintah, kami beri waktu sampai April 2015 untuk sahkan PP JP. Tentu PP JP yang disahkan itu harus sesuai dengan harapan buruh," tegas Iqbal.

Selain itu Iqbal menolak besaran iuran JP sebesar 8 persen sebagaimana usulan pemerintah. Jika iuran 8 persen dari upah maka manfaat yang diterima buruh hanya 25 persen dari upah terakhir. Dengan manfaat sebesar itu Iqbal menilai JP tidak memberi dampak signifikan terhadap kesejahteraan buruh.

Iqbal berpendapat program JP yang nanti digelar BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015 sifatnya wajib. Oleh karenanya seluruh perusahaan di berbagai sektor industri wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Ia mencatat dalam program JP yang sebelumnya dijalankan PT Jamsostek hanya mampu mencakup 0,05 persen buruh sektor formal. Itu terjadi karena program JP sebelum diterbitkannya UU SJSN dan BPJS sifatnya sukarela, bukan wajib.

Menanggapi usulan sebagian asosiasi pengusaha yang menginginkan pesangon dihapus jika program JP digulirkan, Iqbal menyebut itu dua hal berbeda. Program JP diatur dalam UU BPJS dan manfaatnya baru diperolah pekerja ketika masuk pensiun. Sedangkan pesangon adalah hak buruh ketika diputus hubungan kerja (PHK). Pesangon diatur dalam UU Ketenagakerjaan. "Kalau mau hapus pesangon maka UU Ketenagakerjaan harus direvisi," tukasnya.

Sebelumnya Dirut BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G Masassya, mengatakan sementara ini usulan iuran JP yang digunakan 8 persen yakni 5 persen ditanggung pemberi kerja dan 3 persen pekerja. Dengan iuran itu, manfaat JP yang nanti diterima pekerja kurang dari 30 persen dari upah terakhir.

Elvyn menyebut manfaat JP sebesar 30 persen itu belum ideal. Namun, itu sudah sesuai dengan rata-rata kemampuan perusahaan di Indonesia sebagai pemberi kerja dalam menanggung iuran JP. Tapi ia mengingatkan ketika program JP berjalan maka akan ada evaluasi. Dari evaluasi itu bisa saja iuran ditinjau ulang agar manfaat yang diterima peserta lebih besar. “Kalau kami awalnya mengusulkan iuran JP 15 persen,” pungkas Elvyn.
Tags:

Berita Terkait