Cara Baru Memahami Legaltech Sebagai Paradigma Hukum
Resensi

Cara Baru Memahami Legaltech Sebagai Paradigma Hukum

Menguraikan konseptualisasi teknologi hukum (legaltech) dari berbagai praktik yang telah dikenal di era digital. Pengantar kajian untuk melihat teknologi hukum bukan lagi sekadar produk.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 4 Menit

“Teknologi hukum bisa menjadi paradigma baru dalam proses pembentukan hukum baik dalam pendidikan tinggi hukum maupun praktik oleh legislator,” kata pria yang juga menjabat Yayasan Lembaga Pengembangan Ilmu Hukum dan Manajemen (LPIHM) IBLAM (hal. vii). Rahmat adalah Ketua Yayasan LPIHM IBLAM termuda dengan pengalaman studi hukum mulai dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, hingga pernah di Saint Petersburg State University, Rusia.

Sebagai dosen muda yang memulai karier akademik pada tahun 2018, penulis buku ini antusias untuk menerima kritik pembaca. Rahmat berharap gagasannya terus dikembangkan terutama demi kemajuan dunia hukum Indonesia. “Saya mempersilakan bagi para pembaca untuk mengkritisi isi buku ini dan sangat diharapkan masukannya bagi perbaikan di masa mendatang,” kata Rahmat di ujung kata pengantar buku (hal. viii). 

Ada 12 Bab di buku ini yang memetakan kerangka pikir penulisnya. Bab 1 adalah pengantar ringkas yang menguraikan titik awal kajian yang diangkat buku ini. Bab 1 itu berjudul Berawal dari Hukum Siber. Sampai dua bab selanjutnya pembaca masih dituntun memahami konstruksi gagasan yang menjadi fokus buku ini.

Bab 2 menguraikan Hukum di Dunia Digital: Perspektif Budaya Hukum. Isinya adalah tinjauan filosofis ringkas dengan acuan konsep dari pakar sejarah hukum kenamaan Lawrence Meir Friedman. Pembaca mulai disuguhi gagasan Rahmat pada Bab 3 tentang Konstruksi Hukum di Dunia Digital. Tiga unsur kunci pembentuk teori Rahmat diuraikan di sini.

Selanjutnya Bab 4 berisi uraian perbandingan konsep teknologi hukum versi Rahmat dalam praktik di beberapa negara. Bab 5 hingga Bab 11 menjelaskan teknologi hukum sebagai paradigma sekaligus produk teknologi dalam praktik berhukum. Bab 5 menjadi bagian transisi dengan judul Pelayanan Hukum Berbasis Teknologi. Bab 6 tentang Teknologi Hukum bagi Perusahaan, Bab 7 tentang Teknologi Hukum dalam Pencarian Hukum, diselingi Bab 8 yang membahas Problematika dalam Data Privasi dan HAKI. Bab 9 menyelipkan pula suplemen tentang Otomatisasi Hukum dilanjutkan Bab 10 tentang Teknologi Analisis Hukum dan Bab 11 tentang Akses Hukum Melalui Teknologi. Penutup buku ini di Bab 12 semacam epilog berisi prediksi penulis dalam judul Masa Depan Teknologi Hukum.

Secara keseluruhan, buku ini adalah pengantar menarik untuk melihat teknologi hukum sebagai cabang keilmuan hukum. Tampaknya ini juga buku hukum pertama di Indonesia yang menganalisis topik teknologi hukum dengan sudut pandang itu. Namun, isinya belum menyajikan kedalaman analisis sesuai judul tiap bab. Masih terbuka lebar ruang pengembangan yang bisa diisi peneliti lainnya. Mungkin juga akan ada seri lanjutan buku ini yang telah disiapkan penulisnya.

Buku ini menggunakan catatan kaki untuk membantu pembaca langsung mengetahui sumber informasi yang diulas. Sayangnya tidak tidak tersedia glosarium dan indeks yang memudahkan penelusuran ulang kata kunci penting. Penulis juga kurang memanfaatkan fitur bantu berupa skema grafis dan tabel, sehingga penyajian informasi buku ini hampir seluruhnya deretan teks. Akhirnya, penulis buku ini sudah mengakui di penutup kata pengantarnya, “done is always better than perfect”. Buku ini tetap terlalu sayang untuk dilewatkan. Selamat membaca!

Tags:

Berita Terkait