Catatan 2020 LBH Pers: Kekerasan Jurnalis Meningkat Hingga Ancaman Kebebasan Berekspresi
Utama

Catatan 2020 LBH Pers: Kekerasan Jurnalis Meningkat Hingga Ancaman Kebebasan Berekspresi

LBH Pers menerima 55 pengaduan sepanjang tahun 2020. Kasus paling banyak terkait ketenagakerjaan 34 pengaduan, pidana 16 kasus, dan sengketa pers 1 kasus. Laporan LBH Pers ini dinilai konsisten dengan laporan organisasi lain yang menyoroti demokrasi dan HAM di Indonesia tahun 2020.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Selain menyoroti kondisi jurnalis, LBH Pers juga memantau hak atas informasi dan kebebasan berekspresi sepanjang tahun 2020. Advokat publik LBH Pers, Rizki Yuda, mencatat sedikitnya 3 hal terkait hak atas informasi di tahun 2020. Pertama, buruknya pemenuhan hak atas informasi terkait pandemi Covid-19. Kedua, proses legislasi terhadap sejumlah RUU relatif tertutup dan minim partisipasi publik seperti revisi UU Minerba, UU MK, dan penyusunan UU Cipta Kerja.

Ketiga, kewenangan pemerintah memutus akses internet yang sangat besar, sehingga berpotensi membatasi hak setiap orang atas keterbukaan informasi seperti yang terjadi di Papua dan Papua Barat pada 2019.

Kebebasan berekspresi juga terancam karena sejumlah pasal karet masih berlaku. Misalnya Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama; Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU ITE. Beberapa kasus yang disorot LBH Pers terkait kebebasan berekspresi yakni kriminalisasi dosen Universitas Syah Kuala, Aceh, Saiful Mahdi, dengan menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan kriminalisasi terhadap I Gede Ari Astina atau Jerinx karena dituduh melakukan ujaran kebencian setelah mengkritik IDI Bali.

“Ada juga serangan siber seperti dialami Ravio Patra dan Tantowi Anwari,” kata Rizki.

Pengajar STIH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai laporan LBH Pers ini konsisten dengan laporan organisasi lain yang menyoroti demokrasi dan HAM di Indonesia tahun 2020. Bivitri menyoroti sedikitnya 4 hal. Pertama, penggunaan hukum oleh aparat penegak hukum untuk tujuan yang bukan hukum. Kedua, tak hanya “kekerasan hukum,” tapi juga ada kekerasan fisik yang makin terbuka dilakukan aparat tanpa ada sanksi.

Ketiga, keragaman aktor yang tidak terungkap tuntas, sehingga penindakan hukum tidak konsisten, selalu samar dan menciptakan situasi sosial dan politik yang makin runyam. Ujungnya kekerasan tidak diselesaikan. Keempat, pandemi Covid-19 membuat kondisi demokrasi makin parah dan berdampak terhadap aspek ketenagakerjaan di industri pers.

“Terbaca sebuah situasi otoritarianisme, meski kelihatan demokratis secara prosedur (ada pemilu sesuai prosedur, konstitusi dan lainnya, red). Ini perlu dibaca dengan kaca mata negara hukum dan demokrasi yang substantif,” kata Bivitri.

Tags:

Berita Terkait