Catatan Akhir Tahun PSHK: 6 Isu Hukum Curi Perhatian Sepanjang 2020
Berita

Catatan Akhir Tahun PSHK: 6 Isu Hukum Curi Perhatian Sepanjang 2020

Keenam isu itu mencakup legislasi, penegakan hukum, peradilan, anti-korupsi, HAM dan demokrasi, dan tata kelola penanganan Covid-19.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit
Foto: Dok. HOL
Foto: Dok. HOL

Dinamika bidang hukum menjadi perhatian utama publik bahkan menimbulkan kritik keras masyarakat pada 2020. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mencatat ada 6 isu hukum yang menggambarkan secara umum kondisi 2020. Keenam isu itu mencakup legislasi, penegakan hukum, peradilan, anti-korupsi, HAM dan demokrasi, dan tata kelola penanganan Covid-19.

PSHK mencatat dalam isu legislasi pada proses pembentukan Undang Undang (UU) diwarnai dengan proses yang tidak transparan dan partisipatif. Tidak transparan karena sulit bagi publik mendapatkan dokumen terkait pembahasan RUU, baik draft, Naskah Akademik, maupun dokumen hasil rapat pembahasan.

“Tidak ada kanal resmi penyebarluasan draft RUU dan Naskah Akademik. Adapun dokumen yang terpublikasi terjadi di luar jalur resmi dan dokumen yang tersebar minim akses bagi penyandang disabilitas,” terang Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK, Fajri Nursyamsi, Rabu (23/12).

Salah satu contoh yaitu tertutupnya proses legislasi adalah dalam pembentukan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Proses yang tidak transparan tersebut mengakibatkan menyempitnya ruang partisipasi publik ditambah. (Baca Juga: Catatan Pelanggaran Konsumen Sepanjang 2020)

“Sulitnya publik karena waktu pembahasan yang singkat dan tergesa-gesa. Hal ini terjadi tengah belum berhasilnya DPR dan Pemerintah membangun mekanisme partisipasi pada masa pembatasan di pandemi Covid-19 hingga kini,” jelas Fajri.

RUU prioritas tahunan yang disahkan oleh DPR dan Pemerintah lebih rendah dibandingkan dengan capaian legislasi pada 2019 dan 2010 (tahun kedua pada periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono). Capaian Legislasi 2020 tercatat mensahkan 3 UU (6%) dari 50 RUU yang diprioritaskan dalam Prolegnas 2020. (Baca Juga: Bagaimana Kinerja Kejaksaan Agung Sepanjang 2020? Ini Laporannya)

Sedangkan pada 2019 mencatat capaian sebesar 22% dan mencapai 23% pada 2010. Capaian yang rendah pada 2020 bukan hanya disebabkan rendahnya jumlah UU yang disahkan, tetapi juga jumlah RUU yang diprioritaskan sangat banyak, yaitu mencapai 50 RUU. Padahal sejak 2014, UU prioritas yang disahkan tidak pernah melebihi 20 RUU, sehingga tidak berlebihan jika Prolegnas 2020 dinilai tidak realistis.

DPR dan Presiden mengesahkan 10 UU yang bukan merupakan prioritas tahunan, yaitu 2 UU pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu), 1 UU adalah tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu Revisi terhadap UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, 2 UU terkait dengan APBN dan 5 pengesahan perjanjian internasional.

Sepanjang 2020, pembentukan UU juga diwarnai dengan digunakannya pendekatan omnibus, yaitu untuk pembentukan UU Cipta Kerja. Metode ini secara formil belum diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ataupun UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU 12/2011. 

Fajri menilai tanpa pondasi regulasi yang kuat mengakibatkan berbagai hambatan terjadi, seperti draft UU yang sulit untuk dipahami karena menggunakan bentuk penulisan yang berbeda, proses pembahasan sangat padat namun disusun dengan tergesa-gesa dan tujuan melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait tidak berjalan dengan baik.

Berdasarkan data PSHK, periode November 2019 sampai November 2020, jumlah pembentukan peraturan pelaksana masih tetap tinggi, yaitu 61 Peraturan Pemerintah, 103 Peraturan Presiden dan 699 Peraturan Menteri. Walaupun begitu, jumlah ini menunjukan tren penurunan dari periode 1 tahun sebelumnya. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan proses monitoring dan evaluasi yang terintegrasi, demi terus mengatasi kondisi hiper-regulasi yang tumpang tindih dalam substansi peraturan perundang-undangan.

Pengekangan Kebebasan Berpendapat

PSHK mencatat penegakan hukum sepanjang 2020 diwarnai dengan pengekangan terhadap kebebasan berpendapat atas berbagai kebijakan Pemerintah. Penegakan hukum juga kian bercorak untuk mengamankan dan melanggengkan implementasi kebijakan Pemerintah. Selain itu, pemerintah dalam menghadapi unjuk rasa, yang sebenarnya adalah ruang partisipasi publik, justru dihadapi dengan pendekatan keamananan serta aspek kelembagaan penegakan hukum cenderung didesain untuk kepentingan jangka pendek.

Untuk sektor peradilan, pemilihan Pimipinan Komisi Yudisial di tahun 2020 untuk periode 2020-2025 sedikit menumbuhkan harapan dari sisi regenerasi. akan menguatnya peran KY, terutama dalam penegakan kehormatan hakim. Sedangkan untuk Mahkamah Konstitusi, justru diwarnai dengan serangkaian pertanyaan dari publik akan independesi para hakim konstitusi.

Perubahan UU Mahkamah Konstitusi, yang memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi, dan pemberian penghargaan oleh presiden kepada hakim konstitusi memperkuat dugaan adanya upaya ini, di tengah adanya upaya uji formil akan UU KPK dan UU CIpta Kerja. 

Sementara catatan 2020 untuk Mahkamah Agung lebih kepada kebijakan internal dan koordinasi antar lembaga penegak hukum dalam menyelenggarakan persidangan pada masa pandemi COVID 19 saat ini. Putusan Mahkamah Agung yang meringankan vonis terdakwa korupsi Fahmi Darmawansyah yang telah memberikan mobil pada Kepala LAPAS Sukamiskin dengan alasan kedermawanan; menunjukkan ada yang hilang dalam logika anti-korupsi yang seharusnya ada di majelis hakim. Putusan tersebut juga merupakan sinyal negatif ke depan dari Mahkamah Agung untuk isu pemberantasan korupsi.

Dari isu Anti-Korupsi, sorotan pada situasi internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dominan terjadi pada 2020. Pengunduran diri sejumlah pegwai KPK yang selama ini berperan terhadap kinerja KPK, teguran tertulis kepada Ketua KPK karena dinilai melanggar kode etik oleh Dewan Pengawas KPK hingga pengajuan pengadaan mobil dinas baru bagi komisioner KPK menjadi alasan yang mendasari besarnya keresahan publik terhadap masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Fakta bahwa KPK berhasil menangkap 2 orang Menteri atas dugaan tindak pidana korupsi di penghujung 2020 menuai harapan, tetapi harus tetap didukung oleh aspek kelembagaan yang kuat, baik secara kepemimpinan atau tata kelolanya.

Pembahasan HAM dan Demokrasi pada 2020 diwarnai dengan beberapa isu seperti pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah yang terus berjalan di tengah penolakan berbagai pihak, termasuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pelaksanaan Pilkada merupakan bentuk nyata dari pemaksaan kepentingan politik praktis diatas kepentingan kesehatan masyarakat. Hal ini terbukti berdampak negatif karena selama pelaksanaan Pilkada penyebaran virus COVID 19 terjadi, terutama antara penyelenggara dan para calon, yang di antaranya berdampak jatuhnya korban jiwa.

Isu lain dalam bidang HAM dan Demokrasi adalah kebebasan berpendapat dalam mengungkapkan kritik terhadap kebijakan Pemerintah yang cenderung mendapatkan kriminalisasi atau bahkan serangan digital; menunjukan bahwa perbedaan pendapat justru dihadapi dengan pendekatan politik dan keamanan. Sedangkan itu penuntasan kasus HAM masa lalu sampai 2020 masih menjadi jargon tahunan yang didengungkan, tanpa ada tindak lanjut yang terukur.

Untuk tata kelola penanganan Covid-19 di dapat dilihat dari tiga catatan, yaitu: Pertama, aspek kelembagaan yang masih menitikberatkan kepada pendekatan ekonomi jangka pendek semata dibandingkan dengan pendekatan Kesehatan. Penanganan Covid-19 berpengaruh terhadap segala aspek pemerintahan, sehingga tidak berlebih apabila Presiden seharusnya turun langsung memimpin kelembagaan penanganan Covid-19, atau pendelegasian seharusnya diberikan kepada Menteri Kesehatan.

Kedua, pelaksanaan PSBB masih birokratis dan tidak sinergis antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari penetapan PSBB yang justru bebannya banyak diberikan kepada pemerintah daerah, padahal data dan sumber daya terkumpul di Pemerintah Pusat. Seharusnya Pemerintah menentukan daerah mana saja yang harus melakukan PSBB atau lebih ketat dari PSBB, dan kemudian dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Ketiga, pengambilan kebijakan yang tidak konsisten, yang tercermin dari adanya larangan Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah yang ingin menerapkan PSBB berdasar kepada kondisi di wilayahnya, pembatasan yang diperlonggar dengan mengatasnamakan penggunaan protokol Kesehatan dan jargon “new normal”, penggunaan anggaran KL untuk rapat berkumpul di kantor atau hotel hingga pelaksanaan Pilkada yang memancing berbagai kerumunan dalam jumlah besar.

Berdasarkan hasil pemantauan isu hukum pada 2020, PSHK merumuskan 6 tantangan yang akan dihadapi dalam pelaksanaan Reformasi Hukum di 2021. Pertama, untuk DPR dan Pemerintah dalam menciptakan proses legislasi yang transparan dan partisipatif;

Kedua, untuk DPR dan Pemerintah dalam menciptakan perencanaan legislasi yang realistis dan menjawab kebutuhan di masa pandemi Covid-19 saat ini; Ketiga, untuk Pemerintah dalam melaksanakan agenda Reformasi Regulasi, khususnya merealisasikan Badan Regulasi Nasional dan revisi secara menyeluruh UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

Keempat, untuk Pemerintah dalam mendorong terealisasikannya reformasi kelembagaan aparat penegak hukum; Kelima, untuk Mahkamah Konstitusi dalam mengembalikan independensi KPK melalui Putusan terhadap Uji Formil dan Materiil terhadap Revisi UU KPK; dan Keenam, untuk Mahkamah Konstitusi dalam membangun kepercayaan publik dengan menunjukan sikap independen dan mampu menghasilkan putusan yang berkualitas ditengah sempitnya ruang partisipasi dalam pembentukan UU.

Tags:

Berita Terkait