Catatan Kritis Sektor Hukum Pemerintahan Jokowi Jilid I
Utama

Catatan Kritis Sektor Hukum Pemerintahan Jokowi Jilid I

Penegakan hukum digunakan sebagai alat kriminalisasi, diskriminasi, melanggar HAM dan merusak demokrasi. Penegakan dan pembangunan sektor hukum 5 tahun ke depan mengkhawatirkan dan berpotensi sama seperti sebelumnya.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

“Kita tidak bisa berharap banyak kepada kepolisian dan kejaksaan untuk menangani kasus korupsi,” kata dia.

 

Donal berpendapat 5 tahun ke depan isu korupsi dan penegakan hukum tidak mendapat perhatian serius Presiden Jokowi. Persoalan korupsi dikerdilkan sekedar pungli di sektor perizinan. Persoalan korupsi besar tidak disentuh. “Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi akan menjadi ‘anak tiri’ pada pemerintahan Jokowi periode kedua,” tudingnya.

 

Hukum dibajak

Direktur Eksekutif PSHK Gita Putri mencatat Oktober 2014 sampai Oktober 2018 telah terbit 7.621 peraturan menteri; 765 peraturan Presiden; dan 452 peraturan pemerintah. Banyaknya peraturan itu membuat saling tumpang tindih dan menyulitkan semua pihak, tidak hanya pengusaha. Kemudian proses revisi UU KPK tidak dilakukan secara tertib, seharusnya DPR membahas terlebih dulu UU yang masuk dalam program legislatif nasional (prolegnas).

 

Tapi dalam revisi UU KPK, Baleg DPR langsung menyodorkannya dalam rapat paripurna DPR. Presiden menyambut revisi UU KPK dengan menerbitkan Surat Presiden (surpres) untuk membahas revisi tersebut. “Ketika dilakukan pembahasan revisi UU KPK, ada fraksi yang menyatakan partisipasi publik tidak diperlukan,” papar Gita.

 

Menurutnya, kue kekuasaan sudah dibagi-bagi untuk seluruh partai politik, termasuk yang tidak berada dalam koalisi pendukung Presiden Jokowi. Gita mengajak masyarakat untuk tetap mengawal sejumlah RUU yang pembahasannya ditunda seperti RKUHP, RUU Minerba, RUU Pertanahan, dan RUU Pemasyarakatan. “Masyarakat akan berhadapan dengan elit politik yang menolak partisipasi publik,” tuturnya.

 

Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi menilai hukum yang ada saat ini dibajak kepentingan elit politik. Ini dapat dilihat dari proses legislasi yang bergulir di akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019 dimana banyak revisi UU yang kontroversial seperti UU KPK, RKUHP. Pemerintah dan DPR tidak memperhatikan protes publik yang menolak revisi UU KPK. “Ini masa paling ‘gelap’ dalam proses demokrasi kita, kalau tidak diantisipasi, maka penegakan hukum dan demokrasi semakin kelam,” kata dia.

 

Isu terpenting ke depan, menurut Veri, rencana amandemen konstitusi. Ini sangat berbahaya jika perubahannya didasarkan pada kepentingan elit untuk mempertahankan kekuasaan. Amandemen konstitusi, menurut Veri tidak urgent untuk saat ini. Isu GBHN, menurut Veri, pintu masuk ke isu lain seperti mengembalikan posisi Presiden sebagai mandataris MPR. GBHN tidak tepat dengan sistem kenegaraan saat ini karena yang bergulir sejak era reformasi yakni check and balances antar lembaga negara.

 

Menurutnya, GBHN berlaku ketika sistem ketatanegaraan masih menempatkan MPR sebagai lembaga kekuasaan tertinggi. MPR membentuk GBHN untuk dilaksanakan oleh Presiden yang posisinya sebagai mandataris MPR. Tapi sekarang Presiden dipilih langsung oleh rakyat, begitu pula DPR, DPD dan DPRD. Karena itu, posisi MPR saat ini sudah tepat jika disebut sebagai forum berkumpul DPR dan DPD. “Ini tantangan kita 5 tahun ke depan,” tutupnya. 

Tags:

Berita Terkait