Catatan LBH Jakarta atas Tiga Regulasi Penanganan Covid-19
Berita

Catatan LBH Jakarta atas Tiga Regulasi Penanganan Covid-19

Selain membutuhkan itikad baik pemerintah, penanganan wabah Covid-19 perlu perangkat hukum dan peraturan pelaksana yang memadai, transparan, dan mampu memenuhi hak masyarakat atas kesehatan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Baginya, PSBB bisa digunakan untuk meminimalisir kerumunan dan interaksi sosial yang memungkinkan terjadinya penyebaran Covid-19. Tapi kebijakan PSBB tidak serta merta dapat mencegah laju mobilitas warga. Hal ini menunjukan ada kemungkinan terjadi penyebaran Covid-19 dari satu ke lain tempat.

 

Menurut Arif, akrobat hukum ini dilakukan untuk menghindari pelaksanaan kewajiban pemerintah terhadap warganya. Pasal 55 UU No.6 Tahun 208 mewajibkan pemerintah pusat untuk memenuhi dan menanggung kebutuhan dasar warganya ketika menetapkan status karantina wilayah. Selain itu, Arif berpendapat setelah menetapkan PSBB, pemerintah berpotensi menetapkan status darurat sipil.

 

Arif juga melihat persoalan serupa dalam Perppu No.1 Tahun 2020. Sekilas kebijakan ini terlihat “positif” dan dipandang sebagai upaya “menyelamatkan keuangan negara, serta memungkinkan adanya perubahan alokasi APBN untuk menanggulangi Covid-19.” Tapi jika ditilik substansinya, Perppu No.1 Tahun 2020 memuat persoalan hukum yang fundamental yakni berpotensi memunculkan moral hazard, fraud, dan korupsi.

 

Misalnya, Pasal 27 ayat (1) Perppu No.1 Tahun 2020 menyebut biaya yang timbul dari kebijakan penyelamatan keuangan oleh pemerintah terkait krisis disebut sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan dari krisis, bukan merupakan kerugian negara. Menurut Arif, pasal ini menjadi tameng pemerintah untuk tidak dievaluasi atau diperiksa BPK. Pasal ini membuka peluang terjadinya tindakan koruptif di masa darurat kesehatan masyarakat seperti saat ini.

 

Pasal 27 ayat (2) Perppu No.1 Tahun 2020 menyebut pejabat pengambil kebijakan tidak bisa dituntut secara pidana dan perdata jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai peraturan. Ketentuan ini menurut Arif juga akan digunakan sebagai tameng agar pejabat pengambil kebijakan menjadi kebal hukum.

 

Begitu pula Pasal 27 ayat (3) yang menyebut segala tindakan termasuk keputusan yang diambil pejabat/badan pemerintahan berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang bisa dibawa ke pengadilan tata usaha negara.

 

“Klausul ini menjadi puncak dari upaya pemerintah mengangkangi demokrasi dan negara hukum, dimana pemerintah hendak mewujudkan kekuasaan absolut negara di hadapan rakyatnya, yang seolah-olah tindakan pemerintah tidak pernah salah dan tidak bisa digugat/diperkarakan ke pengadilan,” ujar Arif.

Tags:

Berita Terkait