Catatan ST MPR 2003: 'Untung Ada Komisi Konstitusi'
ST MPR 2003

Catatan ST MPR 2003: 'Untung Ada Komisi Konstitusi'

Perhelatan akbar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada pertengahan 2003 usai sudah. Sayangnya, acara tahunan yang memakan dana miliaran ini hanya menghasilkan ketetapan dan keputusan yang kurang berbobot. Untung saja ada Komisi Konstitusi.

Bacaan 2 Menit

 

"Saya malah nyindir, kalau mau yang umum saja semua perundangan yang berlaku bikin saja satu saran. Yaitu agar presiden melakukan tugasnya sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Begitu saja titik," cetus Fuad. Sayangnya menurut Fuad mayoritas fraksi hanya ingin saran yang umum. "Justru kita kan mempunyai banyak masalah yang konkrit. Tapi itulah kompromi politik. Bagi saya itu aneh dan tidak masuk akal. Ketakutan pada yang spesifik," tambah Fuad.

 

Kalau pun ada yang bisa disebut prestasi pada ST kali ini adalah bahwa MPR berhasil memutuskan untuk mempersingkat masa persidangan dari sepuluh hari menjadi hanya tujuh hari. Sebagian anggota MPR tampaknya menyadari bahwa agenda pada ST 2003 tidak terlalu signifikan sehingga tidak perlu waktu yang terlalu lama untuk membahasnya.

 

Dengan demikian dari total biaya Rp20 miliar lebih dan asumsi biaya perhari sekitar Rp2 miliar, pemangkasan tiga hari itu bisa menghemat uang negara hingga sebesar Rp6 miliar.

 

'Untung ada Komisi Konstitusi'

 

Mungkin kalimat itulah yang tepat untuk menggambarkan hasil dari ST MPR 2003 ini. Komisi Konstitusi memang merupakan salah satu aspirasi masyarakat yang berhasil diajukan dan akhirnya diakomodasi oleh MPR. Usulan membentuk Komisi ini muncul seiring dengan keputusan MPR untuk mengamandemen UUD 1945. Sempat melalui perdebatan sengit dan ditolak oleh sebagian anggota MPR, akhirnya di saat-saat terakhir Komisi Konstitusi muncul sebagai agenda ST 2003.

 

Soal hasil ST kali ini, penasehat senior pada National Democratic Institute (NDI) --Andrew Ellis-- mengatakan bahwa ST kali ini sangat penting mengingat Indonesia akan menghadapi sistem pemilu yang baru pada 2004. "Walaupun ST ini membosankan, tapi ini sanagat penting dan bisa menjadi legitimasi untuk mengisi masa transisi guna menghadapi konstitusi baru dan untuk menghadapi isu-isu politik," ujarnya.

 

Namun, pakar hukum tata negara Prof Jimly Asshidiqqie mengatakan bahwa harapan masyarakat tentu tidak bisa disamakan dengan ST sebelumnya. "Karena MPR berada dalam proses transisi, sehingga apa yang bisa dilakukan MPR pada 2003 ini adalah dalam rangka masa transisi," ujarnya.

 

Maksudnya, apabila telah dibentuk MPR 2004 maka kedudukan MPR telah berubah bukan lagi menjadi Lembaga tertinggi negara. Kemudian, pada masa transisi ini MPR mengambil keputusan hanya sebagai langkah penyempurnaan yang bersifat transisional, yaitu menyelesaikan dan menyempurnakan produk-produk hukum sebelumnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: