Chairul Huda: Penetapan Tersangka Termasuk Objek Praperadilan
Berita

Chairul Huda: Penetapan Tersangka Termasuk Objek Praperadilan

Namun, tidak berlaku untuk semua orang.

Hasyry Agustin
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan di PN Jaksel, Senin (9/2). Foto: RES.
Suasana sidang praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan di PN Jaksel, Senin (9/2). Foto: RES.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda mengatakan penetapan tersangka termasuk objek praperadilan karena itu merupakan bentuk dari pegurangan hak seseorang. Namun, ini tidak berlaku bagi semua orang.

“Ada hak yang dilanggar ketika terjadi penetapan tersangka terhadap seseorang. Maksudnya ialah dikurangi haknya. Makanya, tidak semua penetapan tersangka bisa diajukan di praperadilan, tapi dilihat dahulu siapa orangnya,” ujar ahli yang dihadirkan oleh pemohon praperadilan Budi Gunawan ini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Rabu (11/2).

Chairul mengambil contoh komisioner KPK. Misalnya, seorang komisioner KPK ditetapkan sebagai tersangka, maka hanya sebagai komisioner KPK telah hilang. Maka, haknya jadi kurang,” jelasnya.

Menurut Chairul, penetapan tersangka termasuk dari bentuk dari tindakan lain yang diatur dalam KUHAP. Sebenarnya, menurut Chairul, KUHAP membuka peluang untuk mengisi (tindakan lain), walaupun memang di penjelasan disebutkan diantaranya penggeledahan, penyitaan, memasuki rumah atau penahanan. Namun, itu bukan norma yang membatasi tindakan lain yang disebut dalam KUHAP.

“Saya contohkan yaitu pada tahun 2009, kepolisian di Jakarta Barat mem-police line apartemen. Kemudian, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan bahwa police-line itu tidak sah. Itu menunjukan bahwa praperadilan sehubungan sepanjang pembatasan hak seseorang sebagai manusia, maka itu merupakan tindakan lain yang dapat diujikan di praperadilan,” jelas Chairul.

Nah, dengan diuji ke praperadilan, lanjutnya, hakim dapat menilai apakah benar tindakan itu dilakukan untuk membatasi hak. “Pengujian selanjutnya ialah apakah benar tindakan yang dilakukan membatasi hak. Pemanggilan yang tidak sesuai prosedur saja pembatasan hak. Sehingga tidak ada pembatasan ‘tindakan lain’ yang diatur dalam KUHAP mengenai objek praperadilan,” ujarnya.

Chairul berpendapat penetapan seseorang sebagai tersangka harus melewati prosedur hukum yang wajib dipenuhi. Kalau prosedurnya tidak dilaksanakan dengan benar, maka ada hak yang dikurangi.

Selain menjelaskan objek praperadilan, Chairul juga diminta untuk menerangkan mengenai dua bukti permulaan untuk menentukan seseorang menjadi tersangka. Ia menjelaskan bahwa dua bukti tersebut harus memenuhi semua unsur yang ada di dalam pasal yang disangkakan kepada tersangka.

“Bagaimana kita dapat membuktikan bahwa perbuatan tersebut memenuhi unsur dalam tindak pidana. Bukti itu ditunjukan secara global terhadap tindak pidana itu. Tetapi, dua bukti tertuju pada tiap-tiap unsur yang ada dalam definisi tindak pidana itu sehingga akhirnya terpenuhinya unsur-unsur tadi,” jelasnya.

Dua bukti tersebut, lanjut Chairul, selain memenuhi aspek kuantitas juga harus memenuhi aspek kualitas. “Juga harus ada relevansinya sehingga mampu menggambarkan kesesuaian apa yang terjadi dengan larangan yang diatur oleh undang-undang,” paparnya.

Bukti tersebut juga sehubungan dengan proses penyidikan dan penyelidikan. Dimana, menurutnya, dalam penyelidikan belum dibicarakan mengenai bukti, tetapi gambaran bukti dan pasti belum tahu siapa tersangka. Kemudian, baru pada tingkat penyidikan, yaitu guna membuat terang apa yang terjadi.

“Dalam proses penyelidikan belum ada tersangka, kalaupun ada orang yang diduga pelaku tindak pidana. Sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan penyidikan baru ditemukan tersangka,” tambahnya.

Ia menjelaskan bahwa proses penetapan tersangka yang merupakan bagian dari proses penyelidikan yang berada di akhir proses penyidikan. Namun, yang menjadi soal ialah waktu antara dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan dan adanya penetapan tersangka dalam waktu yang sangat dekat.

“Untuk simple-crime dimungkinkan hari itu dikeluarkan Sprindik dan hari itu pula ditetapkannya seseorang menjadi tersangka. Namun untuk complex-crime hal tersebut sangat tidak mungkin, untuk mencari alat buktinya saja sulit. Sehingga menjadi hal yang aneh jika complex-crime, misalnya gratifikasi, dikeluarkan sprindik hari itu, maka hari itu pula ditetapkan menjadi tersangka,” jelasnya.

Untuk diketahui sebelumnya BG ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK pada tanggal 12 Januari 2015. Penetapan tersangka atas BG didasarkan pada penyidikan melalui surat perintah penyidikan atau sprindik dengan Nomor Sprin Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015.

Tags:

Berita Terkait