Dalil Tuntutan, "Gurita" Duit Proyek e-KTP dan Keyakinan Jaksa
Berita

Dalil Tuntutan, "Gurita" Duit Proyek e-KTP dan Keyakinan Jaksa

Penuntut umum meyakini, berdasarkan fakta persidangan, aliran duit proyek e-KTP itu benar adanya. Adapun pencabutan BAP Miryam dianggap tanpa alasan yang sah dan logis.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Terdakwa dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2013 Irman dan Sugiharto menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/6). Foto: RES
Terdakwa dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2013 Irman dan Sugiharto menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/6). Foto: RES
Penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irene Putrie menuntut majelis hakim untuk menghukum dua terdakwa korupsi proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional atau KTP elektronik (e-KTP) tahun anggaran (TA) 2011-2013, Irman dan Sugiharto, masing-masing dengan pidana penjara selama tujuh tahun dan lima tahun.

Irman dan Sugiharto juga dituntut membayar denda, masing-masing sebesar Rp500 juta dan Rp400 juta. Apabila denda tidak dibayar, Irman diwajibkan mengganti dengan pidana kurungan selama enam bulan. Demikian pula dengan Sugiharto.

Selain itu, Irman dituntut membayar uang pengganti sebesar AS$273,7 ribu, Rp2,248 miliar, dan Sing$6000, sedangkan Sugiharto sebesar Rp500 juta yang dibayarkan selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

"Jika dalam jangka waktu tersebut para terdakwa tidak membayar, harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Dalam hal tidak mempunyai harta benda yang mencukupi, maka (Irman) dipidana penjara selama dua tahun dan (Sugiharto) satu tahun," kata Irene membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/6).

Irman dan Sugiharto dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif kedua, Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Baca juga: Mengungkap Nama-Nama Besar dan Sepak Terjang Dua Terdakwa Korupsi e-KTP

Dalam pertimbangannya, penuntut umum Riniyati Karnasih menuturkan, berdasarkan keterangan saksi-saksi, ahli, terdakwa, serta alat bukti surat dan petunjuk, serta barang bukti di persidangan, terungkap fakta bahwa perbuatan kedua terdakwa telah menguntungkan diri sendiri, orang lain, dan korporasi.

Perbuatan itu dilakukan dengan cara menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Sugiharto selaku Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek e-KTP.

Akibat perbuatan kedua terdakwa bersama-sama beberapa pihak lain, sesuai perhitungan kerugian negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dikuatkan keterangan sejumlah ahli, negara dirugikan Rp2,314 triliun.

Riniyati menguraikan, peristiwa ini bermula pada awal 2010.Irman menerima paparan mengenai rencana proyek e-KTP yang semula akan dibiayai menggunakan pinjaman atau hibah luar negeri (PHLN) dengan estimasi anggaran AS$453,654 juta untuk 250 juta penduduk Indonesia. Namun, Irman tidak menggunakan paparan itu sebagai acuan pelaksanaan proyek e-KTP TA 2011-2013.

Sekitar Februari 2010, setelah rapat pembahasan anggaran Kemendagri, Irman dimintai sejumlah uang oleh Ketua Komisi II DPR Burhanudin Napitupulu agarusulan Kemendagri tentang anggaran proyek e-KTP dapat segera disetujui Komisi II. Akan tetapi, Irman tidak dapat menyanggupi. Kemudian, Irman dan Burhanudin sepakat kembali bertemu untuk membahas pemberian sejumlah uang kepada anggota Komisi II.

Pertemuan berlanjut di ruang kerja Burhanudin di DPR. Burhanudin dan Irman menyepakati pemberian uang kepada anggota Komisi II guna mendapatkan persetujuan anggaran. Uang itu akan diberikan oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong, pengusaha yang sudah terbiasa menjadi rekanan di Kemendagri. Burhanudin juga menyampaikan, pemberian uang telah disetujui Sekretaris Jenderal Kemendagri Diah Anggraini.

Keesokan harinya, Diah menghubungi Irman. Diah mengkonfirmasi pertemuan Irman dengan Burhanudin, serta menginformasikan bahwa Andi adalah pengusaha yang komit dan akan memenuhi janjinya sebagaimana telah dibicarakan antara Irman dan Burhanudin.

Menindaklanjuti pembicaraan Irman dan Burhanudin, Andi menemui Irman dan Sugiharo di kantor Kemendagri. Andi menegaskan bersedia memberikan sejumlah uang kepada anggota Komisi II dan pejabat Kemendagri guna memperlancar pembahasan anggaran proyek e-KTP. Irman pun mengarahkan Andi untuk berkoordinasi dengan Sugiharto.

Dalam kesempatan itu, sambung Riniyati, Andi menawarkan kepada Irman dan Sugiharto, "Kalau berkenan Pak Irman nanti bersama Pak Giarto akan saya pertemukan dengan Setya Novanto". Irman bertanya, "Buat apa?". Andi pun menjawab, "Masak nggak tahu Pak Irman? Ini kunci anggaran ini bukan di Ketua Komisi II, kuncinya di Setya Novanto" dan dibalas Irman, "Oh, begitu".

Sebagaimana diketahui, saat ini, Setya menjabat sebagai Ketua DPR. Namun, kala itu, Setya adalah Ketua Fraksi Partai Golkar dan Burhanudin atau akrab disapa "Burnap" adalah anggota DPR dari Fraksi Golkar. Burhanudin telah meninggal dunia akibat serangan jantung usai bermain golf pada Maret 2010 lalu.

Demi mendapatkan kepastian dukungan Setya, Irman dan Andi menemui Setya di ruang kerjanya di lantai 12 Gedung DPR. Irman dan Andi meminta kepastian kesiapan anggaran untuk proyek e-KTP. Atas pertanyaan tersebut, Setya mengatakan, "Ini sedang kita koordinasikan, perkembangannya nanti hubungi Andi".

Andi beberapa kali melakukan pertemuan dengan anggota DPR, khususnya Setya, Anas Urbaningrum (dahulu anggota DPR dan Ketua Fraksi Partai Demokrat), serta Muhammad Nazaruddin (dahulu anggota DPR dan Bendahara Umum Partai Demokrat). Sebab, ketiga anggota DPR tersebut dianggap sebagai representasi Partai Golkar dan Demokrat yang dapat mendorong Komisi II menyetujui anggaran proyek e-KTP.

Setelah pertemuan-pertemuan itu, diperoleh kesepakatan bahwa DPR menyetujui anggaran pengadaan e-KTP sebesar Rp5,9 triliun yang proses pembahasannya akan dikawal oleh Fraksi Partai Demokrat dan Golkar. Dengan kompensasi Andi akan memberikan fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kemendagri.

Riniyati mengungkapkan, guna merealisasikan pemberian fee, Andi atas persetujuan Setya bersepakat dengan Anas dan Nazaruddin tentang rencana penggunaan anggaran proyek e-KTP. Sebesar 51 persen atau Rp2,662 triliun akan dipergunakan untuk belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyek, sedangkan 49 persen atau Rp2,558 triliun akan dibagi-bagikan.

"Kepada beberapa pejabat Kemendagri termasuk para terdakwa sebesar 7 persen atau Rp365,4 miliar, anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen atau Rp261 miliar, Setya dan Andi sebesar 11 persen atau Rp574,2 miliar, Anas dan Nazaruddin sebesar 11 persen atau Rp574,2 miliar, keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan 15 persen atau Rp783 miliar," ujarnya.

Selain kesepakatan mengenai pembagian keuntungan, disepakati pula sebaiknya pelaksana atau rekanan proyek e-KTP adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar mudah diatur. Faktanya, proyek e-KTP dimenangkan oleh Konsorsium (Perum) Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). Konsorsium ini terdiri dari PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, dan PT Sandipala Arthaputra.

41 pihak penerima keuntungan
Riniyati memaparkan, pada Mei 2010, di ruang transit Komisi II lantai 1 sebelum Rapat Dengar Pendapat (RDP), Irman melakukan pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, Diah, Chaeruman Harahap (Ketua Komisi II menggantikan Burhanudin), Ganjar Pranowo, Taufik Efendi, Teguh Djuwarno, Ignatius Mulyono, Mustoko Weni, Arief Wibowo, Nazaruddin, dan Andi. Baca Juga: Gamawan: Saya Tidak Kenal Andi Agustinus

Dalam pertemuan itu, mereka membahas mengenai pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan pemberian NIK secara nasional, serta pembicaraan pendahuluan Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) TA 2011. Dimana, disepakati program e-KTP sebagai program Prioritas Utama yang akan dibiayai menggunakan APBN murni secara tahun jamak (multiyears).

Andi pun mulai "menggelontorkan" sejumlah uang kepada beberapa anggota DPR dengan maksud agar Komisi II dan Badan Anggaran (Banggar) DPR menyetujui anggaran proyek e-KTP. Pemberian uang berlanjut dan "menggurita" ke sejumlah pihak, bahkan hingga pelaksanaan proyek e-KTP. Sumber uang juga tidak hanya dari Andi, tetapi ada pula dari beberapa calon rekanan proyek e-KTP.

Terkait rencana pelaksanaan proyek e-KTP, sambung Riniyati, sekira bulan Mei-Juni 2010, Irman dan Sugiharto bertemu Andi, Johanes Richard Tanjaya (rekanan Kemendagri dalam proyek SIAK TA 2009), dan Husni Fahmi (Ketua Tim Teknis) di Hotel Sultan, Jakarta. Irman menyampaikan, Andiakan mengurus penganggaran dan pelaksanaan proyek e-KTP, serta berminat mengikuti proses pengadaan e-KTP.

Dalam rangka menindaklanjuti hasil pertemuan, Andi meminta agar pertemuan berikutnya dilakukan di Ruko miliknya di Graha Mas Fatmawati Blok B No. 33-35 Jakarta Selatan atau sering disebut Ruko Fatmawati. Beberapa kali pertemuan dilakukan di Ruko Fatmawati yang dihadiri sejumlah pihak, termasuk calon rekanan, vendor, tim teknis, dan calon subkontraktor/konsorsium pendamping.

Adapun pihak-pihak yang hadir adalah Tim dari Johanes Richard Tanjaya, Tim dari Andi yang terdiri dari Andi sendiri, staf direksi PNRI, PT Softob Technology Indonesia (STI), Wahyu Supriyantono, Benny Akhir, dua saudara kandung Andi, Vidi Gunawan dan Dedi Proyono, serta Mayus Bangun (Manager Government Public Sector I di PT Astra Graphia IT), Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvan Hendra Pambudi Cahyo (keponakan Setya Novanto), Tim dari PNRI, Tim dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos dan anaknya, Catherine Tannos.

Selain itu, hadir pula beberapa vendor atau penyedia barang, seperti Johannes Marliem selaku penyedia produk Automated Finger Print Identification Sistem (AFIS) merek L-1, Berman Jandry S Hutasoit selaku selaku Business Development Manager PT Hewlett Packard (HP) Indonesia yang merupakan penyedia Hardware merek HP, Tunggul Baskoro dan Toni Wijaya masing-masing mewakili PT Oracle Indonesia yang merupakan penyedia software merek Oracle, serta Jack Gijrath selaku penyedia produk Semi Konduktor Merk NXP Singapura.

Semua pihak yang hadir dalam pertemuan itu selanjutnya disebut sebagai Tim Fatmawati. Tim inilah yang membahas detil rencana pelaksanaan proyek e-KTP. Sampai-sampai, konfigurasi, spesifikasi teknis, serta price list yang dihasilkan oleh Tim Fatmawati dipergunakan panitia pengadaan e-KTP sebagai Spesifikasi Teknis dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).

Banyak pihak yang disebut penuntut umum diuntungkan dalam proses pembahasan anggaran di DPR hingga pelaksanaan proyek e-KTP, termasuk di dalamnya sejumlah pejabat Kemendagri, panitia pengadaan, tim teknis, pihak swasta, korporasi, serta pihak-pihak lain. Berikut rinciannya :      
No Pihak yang diuntungkan Nilai Keterangan
1 Irman AS$573,7 ribu, Rp2,298 miliar, dan Sing$6000 Uang-uang itu diterima Irman dari Andi, Sugiharto, serta uang Irman yang dikelola Suciati. Dimana, ada sebagian uang yang dikelola Suciati diserahkan kepada Diah dan Gamawan.
Mengingat uang-uang tersebut digunakan untuk kepentingan Irman, maka sebesar itu pula keuntungan yang dinikmati Irman
2 Sugiharto AS$450 ribu dan Rp460 juta
Seluruh uang yang diterima berjumlah AS$2,35 juta dan Rp460 juta. Uang itu bersumber dari Andi dan Johannes Marliem, masing-masing diterima Sugiharto melalui Yosep Sumartono dan Husni Fahmi, serta dari Paulus Tannos.
Namun, tidak semua uang digunakan untuk kepentingan Sugiharto. Sebagian uang, sebesar Rp1,9 miliar, atas perintah Irman, diberikan kepada beberapa orang, yakni Miryam S Haryani, Ade Komaruddin, Markus Nari.
Uang yang dianggap menjadi keuntungan Sugiharto hanya AS$450 ribu dan Rp460 juta. Apabila dirinci, terdiri dari : uang AS$30 ribu dari Paulus, AS$400 ribu dari Paulus dan Johannes yang digunakan untuk membayar jasa advokat Hotma Sitompoel guna memberikan bantuan hukum kepada Sugiharto atas laporan Handiika Honggowongso di Polda Metro Jaya, AS$20 ribu dari Johannes yang kemudian dibelikan mobil Honda Jazz seharga Rp150 juta, sedangkan sisanya Rp40 juta digunakan untuk kepentingan Sugiharto, serta uang Rp460 juta yang bersumber dari DIPA Ditjen Dukcapil yang dibagi-bagikan ke sejumlah pihak.
Sejumlah pihak dimaksud adalah Wulung (auditor Badan Pemeriksa Keuangan), Dwi Satuti Lilik, Ruddy Indrato Raden, Bistok Simbolon (Deputi Bidang Politik dan Keamanan pada Sekretariat Kabinet), Wisnu Wibowo, dan pihak-pihak lain terkait dengan perencanaan, penganggaran, review, dan pelaksaan pekerjaan proyek e-KTP.
3 Gamawan Fauzi Rp50 juta dan AS$4,5 juta Mendagri
Uang sejumlah AS$4,5 juta diberikan secara bertahap sebanyak dua kali melalui Afdal Noverman atau Asmin Aulia. Sementara, uang Rp50 juta merupakan pemberian Irman yang bersumber dari uang yang diterima Irman dan dikelola Suciati.
4 Diah Anggraini AS$500 ribu dan Rp22,5 juta Sekjen Kemendagri
5 Drajat Wisnu Setyawan AS$40 ribu dan Rp25 juta Ketua Panitia Pengadaan proyek e-KTP
6 Panitia lelang Rp60 juta Uang diberikan kepada enam orang panitia lelang, masing-masing Rp10 juta
7 Husni Fahmi AS$20 ribu dan Rp10 juta Ketua Tim Teknis proyek e-KTP
8 Anas Urbaningrum  AS$5,5 juta Sejumlah AS$500 ribu diberikan melalui Eva Ompita Soraya. Pemberian itu kelanjutan dari pemberian pada April 2010 sejumlah AS$2 juta yang diberikan melalui Fahmi Yandri. Sebagian uang digunakanuntuk membayar akomodasi kongres Partai Demokrat di Bandung. Sebagian lagi, AS$400 ribudiberikan kepada Khatibul Umam Wiranu selaku anggota Komisi II DPR dan AS$100 ribu diberikan kepada Jafar Hafsah(Ketua Fraksi Partai Demokrat menggantikan Anas pasca terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat) yang kemudian dibelikan mobil Toyota Land Cruiser. Pada Oktober 2010, Andikembali memberikan uang sejumlah AS$3 juta kepada Anas.
9 Melcias Marchus Mekeng AS$1,4 juta Ketua Banggar DPR
10 Olly Dondokambey AS$1,2 juta Wakil Ketua Banggar DPR
11 Tamsil Linrung AS$700 ribu Wakil Ketua Banggar DPR
12 Mirwan Amir AS$1,2 juta Wakil Ketua Banggar DPR
13 Arief Wibowo AS$108ribu Anggota Komisi II DPR
14 Chaeruman Harahap AS$584ribudan Rp20 juta Ketua Komisi II DPR
15 Ganjar Pranowo AS$520 ribu Wakil Ketua Komisi II DPR
16 Agun Gunanjar Sudarsa AS$1,047juta Anggota Komisi II dan BanggarDPR
17 Mustoko Weni AS$408ribu Anggota Komisi II DPR
18 Ignatius Mulyono AS$258ribu Anggota Komisi II DPR
19 Taufik Effendi AS$103 ribu Wakil Ketua Komisi II DPR
20 Teguh Djuwarno AS$167ribu Wakil Ketua komisi II DPR
21 Miryam S Haryani AS$23 ribu Anggota Komisi II DPR
22 Rindoko, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, dan Jazuli Juwaini AS$185 ribu Uang diberikan kepada lima orang selaku Kapoksi pada Komisi II DPR dengan besaran masing-masing AS$37 ribu
23 Markus Nari AS$13 ribu dan Rp4 miliar Anggota Komisi II DPR
24 Yasonna Laoly AS$84 ribu Anggota Komisi II DPR
25 Khatibul Umam Wiranu AS$400 ribu Anggota Komisi II DPR
26 M Jafar Hapsah AS$100 ribu Anggota DPR
27 Ade Komarudin AS$100 ribu Anggota DPR
28 Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Agusalam, dan Darma Mapangara Rp6 miliar Para Direksi PT LEN Industri, masing-masing menerima Rp1 miliar, serta untuk kepentingan gathering dan SBU, masing-masing Rp1 miliar, sehingga seluruhnya berjumlah Rp6 miliar
29 Wahyudin Bagenda Rp2 miliar Direktur Utama PT LEN Industri
30 Marzuki Ali Rp20 miliar Kala itu, Marzuki menjabat sebagai Ketua DPR
31 Johanes Marliem AS$14,88 juta dan Rp25,242 miliar Vendor penyedia barang merek L-1
32 37 anggota Komisi II lain AS$556 ribu Masing-masing mendapatkan uang berkisar antara AS$13 ribu sampai AS$18 ribu
33 Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan Rp420 juta Para anggota Tim Fatmawati, masing-masing menerima Rp60 juta
34 Mahmud Toha Rp3 juta Auditor BPKP. Sebelum konsorsium PNRI ditetapkan sebagai pemenang proyek e-KTP, seluruh rangkaian pelaksanaan lelang terlebih dahulu dilakukan review oleh BPKP. Namun, review tersebut hanya terkait dengan formalitas dari proses pelelangan. Atas review itu, Irman melalui Drajat memberikan Rp3 juta kepada Mahmud Toha.
35 Manajemen Bersama Konsorsium PNRI Rp137,989 miliar Manajemen bersama menampung potongan sebesar 2-3 persen dari jumlah pembayaran proyek e-KTP yang diterima Konsorsium PNRI.
36 Perum PNRI Rp107,71 miliar Konsorsium pemenang proyek e-KTP
37 PT Sandipala Artha Putra Rp145,851 miliar Konsorsium pemenang proyek e-KTP
38 PT Mega Lestari Unggul Rp148,863 miliar Bahwa selain dibayarkan pada anggota konsorsium, terdapat pula pembayaran kepada Bank Artha Graha untuk pembayaran hutang perusahaan yang bukan anggota konsorsium dan tidak terkait dengan pelaksanaan proyek e-KTP, yakni PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp148,863 miliar
39 PT LEN Industri Rp3,415 miliar Konsorsium pemenang proyek e-KTP
40 PT Sucofindo Rp8,231 miliar Konsorsium pemenang proyek e-KTP
41 PT Quadra Solution Rp79 miliar Konsorsium pemenang proyek e-KTP

Riniyati menegaskan, aliran uang kepada pihak-pihak di atas telah didukung dengan alat bukti yang cukup sesuai kaidah standar minimal pembuktian. Baca Juga: Membuka Simpul Keterlibatan Nama Besar dalam Kasus e-KTP 

Terkait pemberian uang kepada pimpinan Banngar DPR dan Marzuki Ali, penuntut umum berpendapat, meskipun fakta hanya diterangkan oleh seorang saksi, yakni Nazaruddin, tetapi keterangan Nazaruddin didukung keterangan saksi lainnya. Saksi dimaksud, antara lain Winata Cahyadi yang pada pokoknya mengatakan "ada extra money untuk anggota DPR, termasuk pimpinan Banggar", serta keterangan para terdakwa yang pada pokoknya menerangkan bahwa Marzuki Ali marah-marah karena jatah untuknya terlalu kecil.

"Dari rangkaian peristiwa, penuntut umum meyakini bahwa pemberian uang kepada pihak-pihak tersebut adalah benar adanya," tutur Riniyati.

Kesampingkan pencabutan BAP Miryam
Terhadap aliran uang kepada anggota dan pimpinan Komisi II DPR, penuntut umum berpandangan, telah diterangkan secara terang-benderang oleh beberapa saksi, diantaranya Ganjar Pranowo, Miryam S Haryani, Josep Sumartono, dan Nazaruddin, serta para terdakwa.

Riniyati menegaskan, meski Miryam dalam persidangan mencabut seluruh keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penuntut umum sama sekali tidak mempertimbangkan pencabutan BAP. Alasan pertama, pencabutan BAP dilakukan Miryam tanpa alasan yang sah dan logis. Kedua, pemeriksaan perkara pidana pada tahap persidangan bertujuan untuk menemukan kebenaran materiil.

"Oleh karena itu, setiap orang yang menjadi saksi atau terdakwa di sidang pengadilan bebas memberikan keterangan. Namun, tidak berarti bebas memberikan kebohongan, sehingga wajar jika pembentuk undang-undang mengkualifikasikan pemberian keterangan bohong sebagai tindak pidana," ujarnya. Baca Juga: Penyebab Hakim Asiadi Tolak Praperadilan Miryam

Ketiga, alasan pencabutan BAP yang disampaikan Miryam, diantaranya karena adanya tekanan dari penyidik telah terbantahkan dengan keterangan saksi A Damanik, MI Susanto, dan Novel Baswedan, barang bukti video rekaman pemeriksaan Miryam, serta tulisan tangan Miryam yang pada pokoknya berisi keterangan Miryam mengenai perbuatannya dalam mendistribusikan uang ke anggota Komisi II DPR.

Keempat, keterangan Miryam bertentangan dengan keterangan saksi Diah Anggraeni, Josep Sumartono, serta keterangan para terdakwa yang menyatakan bahwa Miryam telah menerima uang dari Sugiharto terkait e-KTP sejumlah AS$1,2 juta sebagaimana telah diuraikan dalam tabel di atas.

Kelima, pencabutan BAP yang dilakukan Miryam diduga karena adanya arahan pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam perkara e-KTP. Hal ini diperkuat dengan telah ditemukannya bukti yang cukup atas perbuatan Markus Nari, menggerakkan Miryam untuk mencabut keterangan dalam BAP.

Riniyati menegaskan, Markus Nari kini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana menghalang-halangi jalannya penuntutan dan pemeriksaan di persidangan dengan menggerakkan Miryam untuk mencabut BAP-nya.

"Berdasarkan alasan-alasan tersebut, patut kiranya pencabutan BAP yang dilakukan Miryam dikesampingkan. Sejalan dengan hal itu, penuntut umum juga meminta kepada majelis hakim untuk tidak mempertimbangkan pencabutan BAP Miryam dan tetap menggunakan keterangan Miryam yang diberikan di depan penyidik sebagai alat bukti yang sah," pintanya.

Lebih lanjut, Riniyati menguraikan, mengenai aliran uang AS$4,5 juta kepada Gamawan, selain dibuktikan berdasarkan keterangan saksi Nazaruddin juga didukung dengan keterangan Diah Anggraeni yang menerangkan pada pokoknya, Andi sempat keberatan dengan permintaan irman yang meminta sejumlah uang untuk Gamawan.

"Selain itu, adanya pemberian uang dari Afdal Noverman kepada Gamawan sejumlah Rp1,5 miliar secara tunai, menambah keyakinan penuntut umum akan adanya aliran uang kepada Gamawan," imbuhnya.

Selebihnya, mengenai bantahan para terdakwa soal uang yang dikelola Suciati adalah uang talangan karena uang DIPA belum cair, menurut penuntut umum merupakan argumentasi yang tidak berdasar, sehingga patut dikesampingkan.

Dengan demikian, penuntut umum berkesimpulan, semua unsur dalam dakwaan alternatif kedua telah terpenuhi. Adapun sejumlah hal yang memberatkan Irman dan Sugiharto, antara lain perbuatan para terdakwaberakibat masif, yakni menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional dan dampak dari perbuatan kedua terdakwa masih dirasakan hingga kini dengan banyaknya masyarakat yang belum memiliki e-KTP.

Khusus untuk Irman, penuntut umum berpendapat, selaku orang yang memiliki otoritas untuk mencegah terjadinya kejahatan, Irman tidak melakukan pencegahan terhadap Sugiharto yang merupakan bawahannya, tetapi justru menjadi bagian dari kejahatan tersebut.

Sementara, sejumlahhal yang meringankan adalah para terdakwa belum pernah dihukum, mengakui terus terang perbuatannya, menyesali dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, serta menjadi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator.

Terkait dengan uang pengganti yang dibebankan kepada Irman dan Sugiharto, penuntut umum mempertimbangkan pula uang-uang yang telah dikembalikan kedua terdakwa. Irman telah mengembalikan uang sejumlah AS$300 ribu dan Rp50 juta melalui rekening penampung KPK, sehingga kewajiban pembayaran uang pengganti Irman menjadi AS$273,7 ribu, Rp2,248 miliar, dan Sing$6000.

Di lain pihak, Sugiharto telah mengembalikan uang sejumlah Rp270 juta, lalu uang dari Johannes Marliem yang telah dibelikan mobil Honda Jazz seharga Rp150 juta telah disita KPK, dan uang sejumlah AS$400 ribu telah diberikan Sugiharto kepada Markus Nari, sehingga menjadi tanggung jawab Markus Nari. Adapun uang yang diserahkan kepada Hotma Sitompoel untuk pembayaran fee advokat sejumlah AS$400 ribu telah dikembalikan Hotma.

Terkait uang sejumlah Rp460 juta, Riniyati menilai, meski tidak seluruhnya Sugiharto, tetapi diberikan Sugiharto kepada pihak-pihak tertentu secara melawan hukum dengan tujuan untuk mempermudah Sugiharto dalam pelaksanaan tugasnya, diantaranya diberikan kepada audito BPK, staf Ditjen Perbendaharaan Negara, Sekretariat Komisi II DPR, dan pihak-pihak lainnya.

"Dengan memperhatikan Pasal 5 Peraturan Mahkama Agung (PERMA) No.5 Tahun 2014 dan frasa "diperoleh" dalam Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor, perolehan uang tersebut menjadi tanggung jawab terdakwa II (Sugiharto). Berdasarkan hal itu, maka terdakwa II harus membayar uang pengganti sejumlah Rp500 juta," tuturnya.

Menanggapi tuntutan KPK, Irman dan Sugiharto, serta tim pengacara keduanya, masing-masing akan menyampaikan nota pembelaan (pledoi) pada Senin, 10 Juli 2017. Usai sidang, Sugiharto tidak banyak berkomentar. "Cukup, cukup," ucapnya. Sementara, Irman mengatakan, ada sejumlah uraian penuntut umum yang tidak sesuai dengan fakta persidangan.

"Ada beberapa ya, mengenai uang yang tidak saya terima, tapi masih dianggap terima, dari salah satu sumber. Padahal, itu hanya informasi satu sumber. Itu akan disampaikan di pembelaan. Sebetulnya (uang) yang saya terima sudah saya kembalikan semua. Jadi pengganti (sebesar) itu rasanya tidak ada," terangnya.

Walau begitu, Irman bersyukur, permohonannya dan Sugiharto untuk menjadi justice collaborator dikabulkan KPK. Irman mengaku, selama di persidangan, ia dan Sugiharto sudah membongkar semua yang mereka lakukan, mereka lihat, dengar, alami, dan mereka ketahui mengenai korupsi proyek e-KTP.

"Mudah-mudahan itu (status justice collaborator) memberikan keringanan kepada kami. (Tuntutan) Iya terlalu beratlah. Makanya, nanti mudah-mudahan dari hakim bisa menurunkan lebih ringan lagi. (Harapannya) Seringan mungkin, sesuai aturan yang berlaku," tandasnya.
Tags:

Berita Terkait