Dana Yayasan Mengalir ke Perusahaan Cendana
Fokus

Dana Yayasan Mengalir ke Perusahaan Cendana

Mantan Presiden Soeharto menjadi tersangka dalam kapasitasnya sebagai ketua yayasan yang dipimpinnya. Berdasarkan surat dakwaan yang akan dibacakan pada sidang perkara Soeharto nanti, bekas orang nomor satu di Indonesia ini telah menyalahgunakan kekuasaannya melalui yayasan hingga merugikan keuangan negara lebih dari Rp 5 triliun.

APr
Bacaan 2 Menit
Dana Yayasan Mengalir ke Perusahaan Cendana
Hukumonline

Banyak orang yang kecewa, Soeharto hanya menjadi tersangka dalam kapasitasnya sebagai ketua yayasan. Banyak pula orang yang skeptis, Soeharto dapat dijerat dengan hukum. Alasannya kalau hanya sebagai ketua yayasan, bagaimana mengusut korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dilakukan Soeharto.

Namun sebenarnya jika diusut lebih lanjut, yayasan-yayasan itu ternyata menjadi tambang uang bagi bisnis keluarga Cendana. Dana dari yayasan itu mengucur deras ke perusahaan-perusahaan keluarga Soeharto, yang melibatkan putra-putri Soeharto dan orang kepercayaannya Mohammad "Bob" Hasan.

Bagaimana modus operandinya? Pengurus teras yayasan Soeharto adalah orang-orang kepercayaan Soeharto, termasuk anak-anaknya. Maka, tidak aneh kalau kemudian dana yayasan itu mengalir ke perusahaan-perusahaan milik mereka. Atas nama yayasan, keluarga Cendana menggerogoti dana yayasan untuk kepentingan bisnisnya.

Enam yayasan

Dana yayasan yang mengalir ke perusahaan-perusahaan milik Keluarga Cendana jumlahnya mencapai Rp5,839 triliun. Dana ke perusahaan Cendana, berasal dari Yayasan Supersemar (Rp191,830 miliar plus AS$419,637 juta), Yayasan Dakab (Rp532,542 miliar), Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Rp442,817 miliar), Yayasan Dharmais (Rp221,804 miliar), Yayasan Dana Trikora (Rp7,056 miliar), dan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (Rp1,973 miliar).

Tindakan Soeharto yang merugikan negara jelas melawan hukum. Penyimpangan dana yayasan ini terdapat dalam surat dakwaan yang akan dibacakan pada saat sidang kasus Soeharto. Dalam surat dakwaan itulah dibeberkan penyelewengan dana yayasan yang dipimpin oleh Soeharto.

Dalam surat bernomor Reg.PDS-217/JKTS/Fpk.2/08/2000 yang ditandangani pada 8 Agustus 2000,  Jaksa Penuntut Umum (JPU) Muchtar Arifin menyatakan bahwa terdakwa selaku ketua yayasan telah menggunakan sejumlah dana yang menggunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut untuk kepentingan sosial, kemanusiaan, dan lain-lain.

Dalam syarat dakwaan itu, JPU menilai penggunaan dana tersebut bertentangan dengan tujuan sosial yayasan, atau setidak-tidaknya perbuatan lain yang bertentangan dengan kepatutan atau kelayakan dengan jalan memerintahkan Bendahara membuat sejumlah Surat Perintah Mengeluarklan Uang (SPMU) yang ditandatangani oleh terdakwa untuk kemudian diberikan kepada sejumlah perusahaan/badan usaha.

Dana yayasan paling banyak mengucur ke Bank Duta. Bank ini menerima dana dari Yayasan Supersemar sebesar AS$419,664 juta (atau Rp3,441 triliun dengan kurs sekarang Rp8.200 per 1 AS$). Dana dari Yayasan ditransfer tiga kali melalui NV de Indonesische Overzee Bank (Indover Bank) Amsterdam ke rekening Bank Duta. Dana ini digunakan untuk menutupi kerugian Bank Duta akibat permainan valuta asing yang melibatkan Dicky Iskandar Dinata. Sementara kelompok usaha Kosgoro ikut kecipratan dana Supersemar sebesar Rp10 miliar dalam rangka pembelian saham Gedung Kosgoro.

Sebagai ketua yayasan, Soeharto dianggap tidak "amanah" . Buktinya, dana Yayasan Trikora yang seharusnya digunakan untuk beasiswa bagi anak yatim piatu dari anggota TNI yang gugur dalam pembebasan Irian Barat juga melenceng.

Sampai 31 Juli 1999, Yayasan Trikora menghimpun dana Rp26,409 miliar. Namun dana ini tidak semuanya utuh karena Rp7,065 miliar disalurkan kepada Yayasan Purna Bhakti Pertiwi Rp 3,353 miliar dan Yayasan Dewan Penyantun Museum Purna Bhakti Pertiwi Rp3,5 miliar.  Yayasan inilah yang mengelola Museum Purna Bhakti Pertiwi di Taman Mini Indonesia Indah.

Namun para pegawai negeri dan anggota TNI mestinya kecewa berat. Pasalnya, dana potongan dari gaji pegawai negeri dan TNI juga bocor.  Dana Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang dikumpulkan dari sumbangan Korpri dan anggota TNI serta masyarakat mencapai Rp78,975 miliar.

Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila membangun 97 mesjid di seluruh Indonesia senilai Rp21,710 miliar. Namun, bendahara Yayasan memasukkan biaya PPN 10% dalam nilai kontrak. Padahal menurut Keppres Nomor 8 tahun 1995, kewajiban membayar PPN 10% ditanggung pemerintah. Dana yayasan sebesar Rp1,974 ini dinikmati oleh tiga perusahaan: PT Purna Wira Danu perkasa, PT Serambi Puri Alam, dan PT Isa Pratama.

Putra-putri Presiden

Bambang Trihatmodjo, putra ketiga Soeharto menerima kucuran dana dari Yayasan Dana Sejahtera Mandiri hampir Rp450 miliar atau tepatnya Rp442.816.963.031,25. Dana ini mengalir ke dua bank yang sebagian sahamnya milik Bambang. Dana yang didepositokan di Bank Andromeda Rp 112,723 miliar dan di Bank Alfa Rp330,094 miliar dengan rekening yang berbeda.

Sayangnya dana yayasan itu tidak dapat ditarik kembali. Pasalnya Bank Andromeda dilikuidasi pada 1 November 2000. Sementara Bank Alfa ditutup dengan status Bank Beku Usaha  pada 13 Maret 2000. Kedua bank ini salah kelola, antara lain karena tidak menganut azas prudential banking.

Perusahaan yang paling banyak menikmati dana yayasan adalah PT Sempati Air. Pemegang saham maskapai penerbangan swasta nasional ini adalah Tommy Soeharto, Sigit Harjojudanto, dan Bob Hasan. Sempati menerima dana dari Yayasan Dakab (Rp17,095 miliar), Yayasan Supersemar (Rp13,173 miliar), dan Yayasan Dharmais (RP11,168 miliar). Dana ini bisa keluar karena adanya Surat Perintah Membayar Uang (SPMA).

Suntikan dana ini digunakan untuk tambahan modal dan uang muka pembelian pesawat. Dana tetap dikucurkan, meskipun pengelolaan perusahaan amburadul. Bahkan, Sempati pada awal-awalnya sempat jor-joran promosi untuk menggaet penumpang. Namun karena manajemen yang kacau, Sempati pun bangkrut.

PT Sempati Air dinyatakan pailit berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 024/K/N/1999 tanggal 25 Agustus 1999 dan Putusan Kembali MA Nomor 025/PK/N/199 tanggal 7 Desember 1999. Dana yayasan setelah dikonversi sebagai penyertaan modal itu tidak dapat ditarik kembali.

Bob Hasan

Ternyata dana yayasan paling banyak bobol ke perusahaan kayu yang dikelola oleh Bob Hasan. Dana dari Yayasan Supersemar yang mengalir ke  PT Kiani Sakti dan PT Kiani Lestari mencapai Rp150 miliar dengan cara mengeluarkan SPMU pada 13 November 2000 atas permintaan Bob Hasan. Dana ini digunakan untuk membiayai pembangunan proyek pulp PT Kiani Kertas.

Belum cukup dana dari Yayasan Supersemar, PT Kiani Lestari juga menerima dana Rp150 miliar dari Yayasan Dharma Bakti Sosial (Dharmais) dan Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab). Pemberian dana ini untuk memenuhi surat permintaan Bob Hasan pada 14 September 1995 untuk membiayai pembangunan proyek pulp PT kiani Kertas. Pada tanggal yang sama, PT Kiani Kertas menerima dana Rp150 miliar dari Yayasan Dakab.

Dana dari Yayasan Dharmais juga mengucur ke tiga perusahaan anak usaha Grup Nusamba. Grup usaha ini adalah milik Bob Hasan dan Sigit Harjojudanto, putra kedua Soeharto. Dana Yayasan Dakab ke tiga perusahaan Grup Nusamba berdasarkan SPMU mencapai Rp24,232 miliar, masing-masing PT Tanjung Redeb Hutan tanaman Industri Rp7,560 miliar, PT Kalhold Utama Rp13,372 miliar, dan PT Essam Timber Rp3,3 miliar.

Sementara dana Yayasan Dharmais ke Grup Nusamba itu sebesar Rp12,774 miliar, masing-masing PT Tanjung Redeb Hutan Taman Industri (Rp6,3 miliar pada Mei 1993), PT Kalhold Utama (Rp3,694 miliar pada Desember 1982), dan PT Essam Timber (Rp2,750 miliar pada Mei 1990).

Tiga perusahaan Nusamba ini juga menerima kucuran dana dari Yayasan Supersemar sebesar Rp12,775 miliar, masing-masing PT Tanjung Redeb Hutan Tanaman Industri (Rp6,300 miliar pada Mei 1993), PT Kalhold Utama (Rp3,695 miliar pada Desember 1982), dan PT Essam Timber (Rp2,750 miliar pada Mei 1990).

Dana yayasan Supersemar dan Dharmis di ketiga perusahaan ini juga menguap. Pasalnya, tiga perusahaan ini telah dijaminkan oleh Bob ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk memenuhi kewajiban Bank Umum Nasional (BUN) yang dibekukan operasinya (BBO) pada 21 Agustus 1998. Selain itu, dana Yayasan Dharmais sebesar Rp 7 miliar yang didepositokan di BUN juga tidak dapat ditarik kembali.

BUN menerima limpahan dana besar dari Yayasan Dakab. Bob membeli saham BUN sebesar Rp125,674 miliar. Pembelian saham ini dilakukan dua kali pada 23 Maret 1992 dan 1 Juli 1997. Selain itu, BUN juga menerima dana Rp64,312 miliar dari Yayasan Dakab dalam bentuk deposito dan giro.

Soeharto dan Bob

Bagaimana mungkin dana yayasan begitu mudah mengucur ke perusahaan milik Bob? Bob yang memiliki nama asli The Kian seng adalah teman sekaligus orang kepercayaan Soeharto. Dua minggu sekali keduanya bermain golf bersama. Pada rezim Orde Baru, Bob bisa disebut the untouchable man.

Dengan beking Soeharto, Bob menguasai 100% saham PT Kiani Lestari. Dulu, perusahaan ini bernama PT Georgia Pacific Indonesia. Awalnya, Bob yang bertindak sebagai broker mendapat saham kosong 10%.  Bob Hasan juga memiliki 60% saham di PT Santi Murni Plywood, sedangkan 40% merupakan saham kroni Cendana. Hanurata (Yayasan Trikora 50% dan Yayasan Harapan Kita 50%) memiliki 10% saham di Georgia Pacific.

Santi Murni adalah anak usaha dari Grup Kalimanis. Dalam grup usaha ini terdapat juga PT Kalhold Utama, Kalimanis Plywood Indonesia, dan PT Kiani Sakti. Sementara saham PT Nusantara Ampera Bakti (Nusamba) mayoritas (80%) milik tiga yayasan (Dakab, Dharmais, Supersemar) dan masing-masing 10% milik Bob dan Sigit Harjojudanto.

Cengkeraman Bob di bisnis kayu amat kuat. Bob memimpin beberapa asosiasi di bidang perkayuan dan membentuk kartel. Kekuasaan "sang raja hutan" itu digambarkan dengan gamblang dalam disertasi Christoper M. Barr di Universitas Cornell (1997) dengan judul Bob Hasan, the Rise of Apkindo, and the Shifting Dynamics of Control in Indonesia's Timber Sector.

Kedekatan Soeharto dan Bob bukan hanya dalam bentuk berbagai fasilitas kepada perusahaan Bob, melainkan juga melalui keputusan presiden (Keppres). Ironisnya, Keppres ini dianggap menyimpang. Soeharto mengeluarkan Keppres Nomor 93/1996 tentang Bantuan Pinjaman kepada PT Kiani Kertas.

Melalui Keprres ini, Kiani Kertas mendapatkan pinjaman Rp250 juta dari Dana Reboisasi (DR). Keppres ini dianggap menyimpang karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 4 Keppres 29/1990 yang mengatur pemanfaatan DR. Selain itu, Keppres Nomor 93/1996 juga dianggap bertentangan dengan UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Kehutanan yang menjadi dasar hukum penggunaan DR untuk upaya reboisasi hutan.

Bob Hasan mestinya dapat menjadi kunci bagi kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dengan bukti yang ada, Soeharto dianggap telah merugikan keuangan negara melalui yayasan yang dipimpinnya. Kasus Soeharto agaknya dapat menjadi pelajaran betapa yayasan dapat menjadi alat untuk memupuk kekayaan.

 

Tags: