Dasar Hukum Kenaikan PPN 11 Persen
Terbaru

Dasar Hukum Kenaikan PPN 11 Persen

Kenaikan PPN merupakan bagian dari revisi UU Perpajakan yang tercantum dalam UU HPP.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah dan DPR telah menyepakati kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen pada April mendatang. Sebagai informasi, Pajak Pertambahan Nilai adalah pemungutan pajak terhadap tiap transaksi/perdagangan jual beli produk atau jasa dalam negeri kepada wajib pajak orang pribadi, badan usaha, dan pemerintah. 

PPN bersifat tidak langsung, artinya pajak tidak dibayarkan secara langsung oleh pedagang melainkan dibayarkan oleh konsumen. Pemungutan PPN sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari, seperti makan di restoran atau berbelanja di mall.

Praktik pungutan PPN di Indonesia ini merupakan pelaksanaan atas sejumlah dasar hukum PPN. Objek pungutan PPN tersebut berupa:

1.   Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak (BKP/JKO) di dalam daerah pabean oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)

2.   Impor BKP

3.  Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean

4.  Ekspor BKP berwujud/tidak berwujud dan ekspor JKP oleh PKP

Baca Juga:

Dasar hukum PPN tertuang dalam UU No.42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Kemudian, dasar hukum terbaru PPN tertuang di dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yakni dalam UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan terdiri atas 9 BAB dan 19 pasal yang mengubah sejumlah ketentuan yang ada di dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pertambahan Nilai (PPN), dan UU Cukai.

Dalam UU HPP No.7 Tahun 2021 yang telah disahkan oleh DPR RI, tarif PPN resmi naik menjadi 11% dan 12%. Kenaikan PPN berlaku mulai 1 April 2022 mendatang. 

Kenaikan PPN merupakan bagian dari revisi UU Perpajakan yang tercantum dalam UU HPP. Nilai pajak yang diputuskan naik secara bertahap mulai dari 11% dan 12%. Sementara itu, maksimal pemungutan pajak PPN berdasarkan UU PPN adalah 15%.

Dalam penyaluran PPN, terdapat mekanisme yang terstruktur di dalamnya, antara lain:

1.      Pengusaha Kena Pajak (PKP) menambahkan PPN terhadap Barang Kena Pajak (BKP) yang dibeli oleh wajib pajak dan harus memberikan faktur sebagai bukti.

2.      Tarif PPN yang tertuang dalam fatru merupakan pajak keluaran bagi PKP penjual Barang Kena Pajak.

3.      PPN bersifat pajak yang dibayar di muka selama PKP menjalankan aktivitas usaha.

4.      Jika terdapat perbedaan, di mana pajak keluaran lebih besar daripada masukan, maka wajib disetorkan kepada kas negara. Jika sebaliknya, maka selisih tersebut bisa dimasukkan dalam kompensasi pajak berikutnya.

5.      SPT masa PPN wajib disampaikan oleh PKP di setiap bulan.

Selain diatur dalam UU HPP, terdapat sejumlah dasar hukum PPN di Indonesia, di antaranya:

1.      UU No. 8 Tahun 1983 yang mengatur daerah pabean, barang berwujud BKP. Penyerahan BKP dalam peraturan tentang PPN adalah penyerahan BKP karena suatu perjanjian, pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli (leasing) dan pengalihan hasil produksi dalam keadaan bergerak.

2.      UU No. 11 Tahun 1994, dasar hukum PPN ini menjelaskan adanya sistem Multi Stage Tax sebagai pajak yang dikenakan secara bertingkat, pada rantai produksi dan distribusi. UU ini turut membahas mengenai consumption type VAT sebagai pajak yang dipungut atas nilai tambah dan penerapan non cumulative tax yaitu sistem pengenaan pajak pada barang/jasa terhadap barang/jasa yang telah dikenakan pajak daerah.

3.      UU No. 42 Tahun 2009, merupakan perubahan ketiga atas UU PPN. UU yang menjadi dasar hukum PPN membahas sejumlah perubahan dari UU sebelumnya mengenai status PKP sebagai pihak wajib menyetor dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang, hingga kewajiban pengusaha kecil yang sudah memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. UU ini turut mengatur PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan dapat dikurangkan dari PPN terutang yang terjadi dalam masa pajak terjadinya pembatalan.

Hingga saat ini dasar hukum terkait perpajakan telah tiga kali mengalami perubahan, hal ini dilakukan untuk terus menyederhanakan kebijakan sekaligus memperhatikan keadilan bagi masyarakat.

Tags:

Berita Terkait