Debat Capres Kedua Tak Sentuh Akar Masalah
Berita

Debat Capres Kedua Tak Sentuh Akar Masalah

Kedua capres terkesan kurang menguasai akar masalah dan bagaimana mengatasi masalah dalam debat capres kedua ini.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kedua capres saat debat kedua dengan tema energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup di Hotel Sultan Jakarta, Minggu (17/2) malam. Foto: RES
Kedua capres saat debat kedua dengan tema energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup di Hotel Sultan Jakarta, Minggu (17/2) malam. Foto: RES

Debat calon Presiden (capres) yang digelar Minggu (17/2) kemarin menuai kritik dari kalangan aktivis lingkungan hidup. Sebab, kedua pasangan calon presiden (capres) yakni Joko Widodo (01) dan Prabowo Subianto (02) sama sekali tak menyentuh akar masalah dan cara mengatasi berbagai masalah sesuai topik debat yakni lingkungan hidup, infrastruktur, energi, pangan, sumber daya alam (SDA).

 

“Debat capres kedua itu tidak menyentuh akar masalah lingkungan,” ujar Direktur Eksekutif Walhi, Nur Hidayati dalam keterangannya di Jakarta, Senin (18/2/2019).  

 

Dia menilai para kandidat presiden tersebut terkesan tidak menguasai atau menghindari pembahasan substansi terkait persoalan lingkungan hidup. Capres nomor urut 01, Joko Widodo, mengklaim terlalu berlebihan saat membahas kebakaran hutan dan konflik lahan. Sementara capres nomor urut 02, Prabowo Subianto, terkesan tidak menguasai akar masalah.

 

Ironisnya, kata perempuan yang akrab disapa Yaya itu, melihat capres 01 menyebut tidak ada kebakaran hutan dan lahan gambut selama 3 tahun terakhir. Padahal faktanya, Walhi menemukan dari 8.617 titik panas selama 2018, ada sekitar 3.427 titik panas berada di lahan gambut.

 

Dalam pembahasan infrastruktur dan konflik lahan yang timbul, capres 02 hanya menyinggung soal ganti rugi dan tukar guling tanah tanpa menyentuh mekanisme penyelesaian konflik. Sementara capres 01 menyampaikan selama lebih dari 4 tahun pemerintahannya tidak ada konflik dalam pembangunan infrastruktur.

 

Namun, berdasarkan laporan yang masuk ke Kantor Staf Presiden (KSP), konflik akibat pembangunan infrastruktur mencapai 555 kasus. Dari ratusan kasus itu, 19 kasus meliputi 631 KK terdampak dengan luasan konflik mencapai 2,2 juta hektar lahan. Mengenai isu energi, lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA), kedua calon juga tidak menyinggung substansi akar persoalan.

 

“Bahkan dalam soal kelapa sawit kedua kandidat kompak mendukung sawit serta menyandarkan pada biodiesel dan terkesan mengabaikan dampak lingkungan hidup yang signifikan dari sawit ini,” lanjut Yaya. Baca Juga: Komitmen Kedua Capres Diragukan dalam Penegakan Hukum Lingkungan

 

Yaya menilai kedua capres ingin mendorong energi berbasis lahan tanpa menyinggung rencana phase out dan roadmap untuk lepas dari energi kotor dan tidak ramah lingkungan seperti batubara. Kedua kandidat juga tak menyinggung subsidi biodiesel yang selama ini lebih banyak dinikmati korporasi. Isu batubara dan perubahan iklim juga tidak disentuh dalam debat kedua.

 

Kebijakan Perhutanan Sosial (PS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (Tora) yang berjalan selama ini menurut Yaya masih belum optimal. Sejak awal Yaya menduga capres 01 akan menggunakan data tentang capaian PS dan Tora dalam debat. Sayangnya, Jokowi tidak menyinggung bagaimana penyelesaian konflik agraria yang trennya tidak berkurang, tapi bertambah. Capaian target PS dan Tora juga tidak signifikan.

 

Sedangkan, capres 02 terlihat keliru memahami persoalan reforma agraria. Prabowo malah mengutip Pasal 33 UUD RI 1945. Menurut Yaya pernyataan itu menunjukan kandidat capres 02 tidak memahami “hak menguasai negara”, dimana dalam putusannya MK menyatakan hak menguasai negara tidak sama dengan hak memiliki. Soal penegakan hukum, setiap calon tidak membahas isu strategis misalnya bagaimana mekanisme penegakan hukum terhadap korporasi.

 

Prabowo hanya menyebut akan menegakan hukum perusahaan-perusahaan. Jokowi juga mengklaim penanganan kebakaran hutan bisa diatasi karena ada penegakan hukum terhadap 11 perusahaan dan dikenakan denda totalnya Rp18 triliun. Meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) periode 2015-2018 memenangkan gugatan terhadap korporasi sebesar Rp16,94 triliun untuk kerugian lingkungan hidup dan Rp1,37 triliun untuk pemulihan, namun masalahnya hukuman itu belum ada yang dieksekusi.

 

Mengenai lubang bekas tambang dan pencemaran, Yaya melihat kedua kandidat tidak pun menyinggung. Tidak ada pembahasan terkait penegakan hukum dalam kasus ini. “Debat kedua ini menjadi cerminan bahwa masih banyak PR ke depan terkait lingkungan hidup dan SDA,” tegasnya.

 

Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, Anggalia Putri menilai kedua kandidat menekankan penggunaan sawit sebagai bahan bakar alternatif dan mencapai swasembada energi. Tapi keduanya tidak memaparkan solusi untuk mengatasi masalah sosial dan lingkungan akibat praktik perkebunan kelapa sawit yang tidak berkelanjutan. Misalnya, potensi perusakan hutan alam dan lahan gambut.

 

”Penguatan kebijakan tata kelola di hulu seperti moratorium sawit serta penguatan standar keberlanjutan sawit agar tidak lagi menimbulkan deforestasi dan kerusakan gambut harus dijalankan presiden terpilih nanti karena sangat penting untuk mencapai target penurunan emisi dalam NDC di sektor hutan dan lahan,” kata Anggalia.

 

Plt Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia, Nuly Nazlia mengatakan Indonesia mentargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen sampai tahun 2025. Tapi sebagian besar pembangkit listrik yang beroperasi menggunakan batubara. Padahal ketergantungan energi fosil terbukti membebani perekonomian baik secara fiskal dan lingkungan. Kendati kedua capres telah memasukan visi dan misi pengembangan energi terbarukan, tapi mekanisme percepatan pengembangan energi terbarukan masih belum jelas.

 

Menurut Nuly, kedua Capres fokus mengembangkan biodiesel/bioetanol sampai ke tahap B100. Padahal, sumber energi terbarukan yang bisa dikembangkan di Indonesia jumlahnya sangat banyak. Biofuel lebih tepat sebagai jawaban sementara untuk sektor transportasi. Video tentang lingkungan seperti dampak lubang tambang yang diputar dalam acara debat kedua sayangnya tidak menggugah kedua kandidat untuk membahas rencana rehabilitasi sisa aktivitas tambang sebagai awal dari upaya pemulihan.

 

Mengenai SDA dan lingkungan hidup, Nuly berpendapat kedua capres menekankan pada penegakan hukum bagi aktor perusak lingkungan hidup seperti pencemaran, pembalakan liar, pencuri ikan, dan kebakaran hutan. Komitmen ini baik tapi sangat normatif dan tidak ada pemaparan lengkap bagaimana upaya penegakan hukum yang akan dilakukan. Misalnya, hasil kajian KPK menemukan 18 dari 22 regulasi terkait perizinan rentan menyebabkan korupsi.

 

“Kerugian negara di sektor kehutanan diperkirakan mencapai 6,5 miliar dollar AS, dan biaya suap perizinan setiap tahun mencapai Rp22 milyar untuk setiap konsesi,” ungkap Nuly. Baca Juga: Komitmen Kedua Capres Diragukan dalam Penegakan Hukum Lingkungan

 

Rendahnya komitmen

Melihat hasil debat capres kedua ini, Direktur Eksekutif Yayasan Satu Dunia, Firdaus Cahyadi menyimpulkan persoalan lingkungan hidup ke depan semakin suram. Pemaparan kedua kandidat dalam acara debat itu tidak membuat masyarakat optimis terhadap nasib lingkungan hidup dan SDA ke depan. Para kandidat capres tidak menjawab substansi akar persoalan lingkungan hidup seperti masalah kebakaran hutan dan lahan, serta penguasaan lahan oleh korporasi.

 

Firdaus juga menyesalkan kedua capres tidak menyinggung soal kriminalisasi yang menimpa aktivis lingkungan hidup. Menurutnya debat kedua membuktikan rendahnya komitmen capres terhadap isu lingkungan hidup. Hal ini juga terlihat dari kampanye yang dilakukan capres di media sosial.

 

Melansir data www.iklancapres.id, Firdaus mencatat per 18 Februari 2019, capres 01 mengangkat isu lingkungan hidup di media sosial sebanyak 16 kali, sementara isu ekonomi mencapai 257 kali. Sementara capres 02 mengangkat isu lingkungan hidup dalam kampanyenya di media sosial hanya 14 kali dan isu ekonomi 366 kali.

 

Tidak tajamnya pembahasan isu ekologis dalam debat capres kedua ini sebenarnya hanya menjustifikasi rendahnya komitmen masing-masing kandidat terhadap lingkungan hidup,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait