Dephukham Luncurkan Buku Panduan Pahami Perda
Berita

Dephukham Luncurkan Buku Panduan Pahami Perda

Hingga saat ini sudah 973 Peraturan Daerah dan 1 Qanun dibatalkan Mendagri. Departemen Hukum dan HAM meluncurkan buku panduan untuk meminimalisir Perda bermasalah.

M-3
Bacaan 2 Menit
Dephukham Luncurkan Buku Panduan Pahami Perda
Hukumonline

Seiring dengan semangat otonomi daerah, masing-masing daerah menyusun dan menerbitkan peraturan daerah (Perda). Ironisnya, acapkali Perda yang dihasilkan menuai masalah, bahkan isinya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam pembukaan Forum Investasi Regional Indonesia beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan Pemerintahan Pusat akan membatalkan 804 Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

 

Pemerintah Pusat tampaknya memang risau dengan banyaknya Perda bermasalah. Data dari Departemen Dalam Negeri menunjukkan bahwa setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai sekarang sudah 973 Perda yang dibatalkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan 1 Qanun Nanggroe Aceh Darussalam yang dibatalkan Presiden. Jika biaya pembuatan Perda ini rata-rata 10 juta rupiah, maka berarti Indonesia telah menghambur-hamburkan uang sebanyak hampir 18 miliar rupiah.

 

Data tersebut diungkapkan langsung oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Andi Matalatta saat tampil sebagai keynote speech dalam rangka peluncuran buku Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, dan Pengenalan Sistem Pengelolaan Informasi Publik di aula Dephukham, Jakarta, Senin (21/07). Andi berharap penerbitan buku panduan ini dapat meminimalisir Perda bermasalah.

 

Alasan utama pencabutan Perda bermasalah adalah pertentangan Perda dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini pun melanggar  Pasal 163 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah). Alasan lainnya disebabkan oleh adanya Perda yang bertentangan dengan logika HAM dan iklim investasi di Indonesia.

 

Lebih lanjut, Andi mengatakan bahwa persoalan tersebut tidak perlu terjadi jika setiap daerah mengetahui mekanisme dan aturan main pembuatan Perda. Mengenai hierarkhi peraturan perundang-undangan, misalnya, telah diatur di dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini mengingat bahwa persoalan Perda bermasalah bukanlah masalah daerah semata, tetapi juga pemerintahan pusat.

 

Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah pemerintah pusat harus menetapkan peraturan pelaksanaan UU Pemerintahan Daerah yang mengatur mengenai peran serta masyarakat dalam memberikan masukan untuk penyiapan atau pembahasan Perda. Kedua, sudah waktunya mengevaluasi peraturan perundang-undangan di tingkat pusat yang berhubungan dengan otonomi daerah untuk melihat perkembangan situasi dan kondisi di daerah tersebut.

 

Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang membentuk peraturan perundang-undangan pun harus ditingkatkan, setidaknya kualitas ketiga komponen pembentuk Perda. Ketiga komponen itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), biro hukum, dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM. Selain itu, diperlukan juga sosialisasi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari Perda, kepada pemerintah daerah secara intensif.

 

Sebagai upaya realisasi cara-cara yang diungkapkan oleh Andi tersebut, Dephukham mengadakan Training of Trainers (TOT). Proyek ini mendapat dukungan dari Proyek Enhancing Communication, Advocacy and Public Participation for Legal Reforms (CAPPLER)  sebagai bagian dari proyek United Nations Development Program (UNDP).

 

CAPPLER National Project Director Wahiduddin Adams menjelaskan pelatihan ini akan dilaksanakan terhadap pelatih dari 33 provinsi di seluruh Indonesia pada bulan Juli hingga September 2008. Selanjutnya, mereka melaksanakan pelatihan perancang Perda di masing-masing wilayah. Akan dipilih lima kota di tiap wilayah sebagai lokasi pelatihan perancang di tingkat kota dan kabupaten, ujar Wahiduddin.

 

Abdul Wahid Masru, Dirjen Peraturan dan Perundang-Undangan Dephukham, menyatakan  langkah ini perlu dilakukan dalam rangka menciptakan Tata Kelola Pemerintahan yang baik (Good Governance). Pembentukkan Perda haruslah tetap dapat kita tempatkan dalam kerangka yang lebih besar yakni sebagian yang integral dari sistem hukum nasional dan prinsip-prinsip yang telah kita sepakati dalam penyelenggaran pemerintahan, tambah Wahid.

 

Penasihat senior UNDP di Indonesia, Mas Achmad Santosa, berpendapat selain prinsip good governance, upaya perbaikan Perda bermasalah ini juga sejalan dengan prinsip HAM, kesetaraan jender, serta sustainable development. Aspek transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sangat diperlukan agar pemerintah di daerah tidak terjerat dalam penyalahgunaan sumber daya publik yang menyeret penyelenggara negara serta siapapun kepada sangkaan, dakwaan, dan hukuman karena tindak pidana korupsi, ujarnya.

 

Pernyataan Mas Ota—begitu Mas Achmad Santosa biasa disebut-- memang bukan tanpa alasan. Pembentukkan Perda akhirnya merupakan sarana para pelaku korupsi menjalankan aksinya. Sehingga seolah-olah perbuatan korupsi itu menjadi legal karena dibenarkan oleh Perda.

 

Tags: